A.1. Pengantar
Untuk menelusuri kapan gerangan nenek moyang orang Minangkabau itu datang ke Minangkabau, rasanya perlu dibicarakan mengenai peninggalan lama seperti megalit yang terdapat di Kabupaten Lima Puluh Kota dan tempat-tempat lain di Minangkabau yang telah berusia ribuan tahun.
Di Kabupaten Lima Puluh Kota peninggalan megalit ini terdapat di Nagari Durian Tinggi, Guguk, Tiakar, Suliki Gunung Emas, Harau, Kapur IX, Pangkalan, Koto Baru, Mahat, Koto Gadan, Ranah, Sopan Gadang, Koto Tinggi, Ampang Gadang.
Untuk menelusuri kapan gerangan nenek moyang orang Minangkabau itu datang ke Minangkabau, rasanya perlu dibicarakan mengenai peninggalan lama seperti megalit yang terdapat di Kabupaten Lima Puluh Kota dan tempat-tempat lain di Minangkabau yang telah berusia ribuan tahun.
Di Kabupaten Lima Puluh Kota peninggalan megalit ini terdapat di Nagari Durian Tinggi, Guguk, Tiakar, Suliki Gunung Emas, Harau, Kapur IX, Pangkalan, Koto Baru, Mahat, Koto Gadan, Ranah, Sopan Gadang, Koto Tinggi, Ampang Gadang.
Seperti umumnya kebudayaan megalit
lainnya berawal dari zaman batu tua dan berkembang sampai ke zaman perunggu.
Kebudayaan megalit merupakan cabang kebudayaan Dongsong. Megalit seperti yang
terdapat disana juga tersebar ke arah timur, juga terdapat di Nagari Aur Duri
di Riau. Semenanjung Melayu, Birma dan Yunan. Jalan kebudayaan yang ditempuh
oleh kebudayaan Dongsong. Dengan perkataan lain dapat dikatakan bahwa
kebudayaan megalit di Kabupaten Lima Puluh Kota sezaman dengan kebudayaan
Dongsong dan didukung oleh suku bangsa yang sama pula.
Menurut para ahli bahwa pendukung
kebudayaan Dongsong adalah bangsa Austronesia yang dahulu bermukim di daerah
Yunan, Cina Selatan. Mereka datang ke Nusantara dalam dua gelombang. Gelombang
pertama pada Zaman Batu Baru (Neolitikum) yang diperkirakan pada tahun 2000
sebelum masehi. Gelombang kedua datang kira-kira pada tahun 500 SM, dan mereka
inilah yang diperkirakan menjadi nenek moyang bangsa Indonesia sekarang.
Bangsa Austronesia yang datang pada gelombang pertama
ke nusantara ini disebut oleh para ahli dengan bangsa Proto Melayu (Melayu
Tua), yang sekarang berkembang menjadi suku bangsa Barak, Toraja, Dayak, Nias,
Mentawai dan lain-lain. Mereka yang datang pada gelombang kedua disebut Deutero
Melayu (Melayu Muda) yang berkembang menjadi suku bangsa Minangkabau, Jawa,
Makasar, Bugis dan lain-lain.
Dari keterangan tersebut di atas
dapat disimpulkan bahwa nenek moyang orang Minangkabau adalah bangsa melayu
muda dengan kebudayaan megalit yang mulai tersebar di Minangkabau kira-kira
tahun 500 SM sampai abad pertama sebelum masehi yang dikatakan oleh Dr. Bernet
Bronson. Jika pendapat ini kita hubungkan dengan apa yang diceritakan oleh
Tambo mengenai asal-usul orang Minangkabau kemungkinan cerita Tambo itu ada
juga kebenarannya.
Menurut sejarah Iskandar Zulkarnain
Yang Agung menjadi raja Macedonia antara tahun 336-323 s.m. Dia seorang raja
yang sangat besar dalam sejarah dunia. Sejarahnya merupakan sejarah yang penuh
dengan penaklukan daerah timur dan barat yang tiada taranya. Dia berkeinginan
untuk menggabungkan kebudayaan barat dengan kebudayaan timur.
Tokoh Iskandar Zulkarnai dalam Tambo
Minangkabau secara historis tidak dapat diterima kebenarannya, karena dia
memang tidak pernah sampai ke Minangkabau. Di samping di dalam sejarah Melayu,
Hikayat Aceh dan Bustanul Salatin Tokoh Iskandar Zulkarnain ini juga
disebut-sebut, tetapi secara historis tetap saja merupakan seorang tokoh
legendaris.
Sebaliknya tokoh Maharajo Dirajo yang dikatakan oleh
Tambo sebagai salah seorang anak Iskandar Zulkarnain, kemungkinan merupakan
salah seorang Panglima Iskandar Zulkarnain yang ditugaskan menguasai pulau emas
(Sumatera), termasuk di dalamnya daerah Minangkabau. Dialah yang kemudian
menurunkan para penguasa di Minangkabau, jika kita tafsirkan apa yang dikatakan
Tambo berikutnya. Sayangnya Tambo tidak pernah menyebutkan tentang kapan
peristiwa itu terjadi selain ”pada masa dahulunya” yang mempunyai banyak sekali
penafsirannya.
Tambo juga mengatakan bahwa nenek
moyang orang Minangkabau dari puncak gunung merapi. Hal ini tidak dapat
diartikan seperti yang dikatakan itu, tetapi seperti kebiasaan orang
Minangkabau sendiri harus dicari tafsirannya, karena orang Minangkabau selalu
mengatakan sesuatu melalui kata-kata kiasan, ”tidak tembak langsung”.
Tafsirannya kira-kira sebagai berikut: Sewaktu Maharajo Dirajo sedang berlayar
menuju pulau emas dalam mengemban tugas yang diberikan oleh Iskandar Zulkarnain,
pada suatu saat dia melihat daratan yang sangat kecil karena masih sangat jauh.
Setelah sampai ke daratan tersebut ternyata sebuah gunung, yaitu gunung merapi
yang sangat besar. Tetapi oleh pewaris Tambo kemudian gunung Merapi sangat
kecil yang mula-mula kelihatan itulah yang dikatakan sebagai tanah asal orang
Minangkabau. Selanjutnya cerita Tambo yang demikian, juga masih ada sampai
sekarang pada zaman kita ini.
Ada baiknya kita kutip apa yang
dikatakan Tambo itu sebagai yang dikatakan oleh Sang Guno Dirajo: ”…Dek lamo
bakalamoan, nampaklah gosong dari lauik, yang sagadang talua itiak, sadang
dilamun-lamun ombak…” (sesudah lama berlayar akhirnya kelihatanlah pulau yang
sangat kecil kira-kira sebesar telur itik yang kelihatan hanya timbul tenggelam
sesuai denga turun naiknya ombak).
Selanjutnya dikatakan:”…Dek lamo –
bakalamoan aia lauik basentak turun, nan gosong lah basentak naiak, kok
dareklah sarupo paco, namun kaba nan bak kian, lorong kapado niniak kito, lah
mendarek maso itu, iyo dipuncak gunuang marapi…” (karena sudah lama berlayar
dan pasang sudah mulai surut, gosong yang kecil tadi makin besar, daratan yang
kelihatan itu tak obahnya seperti perca, maka dinamakanlah daratan itu dengan
pulau perca yang akhirnya didarati oleh nenek moyang kita yang mendarat
kira-kira di gunung merapi).
Peristiwa inilah yang digambarkan
oleh mamangan adat Minangkabau berbunyi “dari mano titiak palito, dari telong
nan barapi, dari mano asal niniak kito, dari puncah gunuang marapi” (dari mana
titik pelita dari telong yang berapi, dari mana datang nenek kita, dari puncak
gunung merapi). Mamangan adat ini sampai sekarang masih dipercaya oleh sebagian
besar masyarakat Minangkabau..
Bagi kita yang menarik dari cerita
Tambo ini bukanlah mengenai arti kata-katanya melainkan adalah cerita itu
memberikan indikasi kepada kita tentang nenek moyang orang Minangkabau asalnya
datang dari laut, (dengan berlayar) yang waktunya sangat lama. Kedatangan nenek
moyang inilah yang dapat disamakan dengan masuknya nenek moyang orang
Minangkabau. Dengan demikian masuknya nenek moyang orang Minangkabau dapat
diperkirakan waktu kedatangannya: yaitu antara abad kelima sebelum masehi
dengan abad pertama sebelum masehi, sesuai dengan umur kebudayaan megalit itu
sendiri.
Kembali kepada permasalahan pokok pada bagian ini,
maka menurut Soekomo, tradisi Megalit pada mulanya merupakan batu yang
dipergunakan sebagai lambang untuk memperingati seorang kepala suku. Sesudah
kepala suku itu meninggal, akhirnya peringatan itu berubah menjadi penghormatan
yang lambat laun menjadi tanda pemujaan kepada arwah nenek moyang.
Bagaimana dengan megalit yang
terdapat di Minangkabau? Barangkali fungsi pemujaan terhadap arwah nenek moyang
masih tetap berlanjut, seperti Menhir lainnya di Indonesia. Tetapi jika kita
hubungkan Menhir itu dengan kehidupan orang Minangkabau yang berkaitan dengan
Medan Nan Bapaneh, yaitu tempat duduk bermusyawarah dalam masyarakat
Minangkabau sudah mulai berkembang pada zaman pra sejarah, khususnya di zaman
berkembangnya tradisi menhir di Minangkabau dan keadaan ini sudah berlangsung
semenjak sebelum abad masehi.
Dari peninggalan menhir dan
keterangan-keterangan yang diberikan oleh pemuka masyarakat sekarang di
tempat-tempat menhir itu terdapat seperti di Sungai Belantik, Andieng, Kubang
Tungkek, Tiakat, Padang Japang, Limbanang, Talang Anau, Padang Kandih, Balubus,
Koto Tangah, Simalanggang, Taeh Baruh, Talago, Ampang Gadang seperti yang
dikatakan oleh Yuwono Sudibyo, sebagai berikut:
”Bahwa ketika sekelompok nenek moyang telah menemukan tempat bermukim, yang pertama-tama ditetapkan atau dicari adalah suatu lokasi yang dinamakan gelanggang. Di gelanggang ini dilakukan upacara, yaitu semacam upacara selamatan untuk menghormati kepala suku atau pemimpin rombongan yang telah membawa mereka ke suatu tempat bermukim. Sebagai tanda upacara didirikanlah Batu Tagak yang kemudian kita kenal sebagai menhir. Batu Tagak ini kemudian berubah fungsi, sebahagian menjadi tanda penghormatan kepada arwah nenek moyang dan sebahagian tempat bermusyawarah yang kemudian kita kenal dengan nama Medan nan Bapaneh”.
”Bahwa ketika sekelompok nenek moyang telah menemukan tempat bermukim, yang pertama-tama ditetapkan atau dicari adalah suatu lokasi yang dinamakan gelanggang. Di gelanggang ini dilakukan upacara, yaitu semacam upacara selamatan untuk menghormati kepala suku atau pemimpin rombongan yang telah membawa mereka ke suatu tempat bermukim. Sebagai tanda upacara didirikanlah Batu Tagak yang kemudian kita kenal sebagai menhir. Batu Tagak ini kemudian berubah fungsi, sebahagian menjadi tanda penghormatan kepada arwah nenek moyang dan sebahagian tempat bermusyawarah yang kemudian kita kenal dengan nama Medan nan Bapaneh”.
Karena sudah ada kehidupan
bermusyawarah, sudah barang tentu pula masyarakat sudah hidup menetap dengan
berburu dan pertanian sebagai mata pencaharian yang utama. Hal ini sesuai pula
dengan kehidupan para pendukung kebudayaan Dongsong yang sudah menetap. Jika
sekiranya peninggalan-peninggalan pra sejarah Minangkabau sudah diteliti dengan
digali lebih lanjut, barangkali akan ditemui peninggalan-peninggalan yang
mendukung kehidupan berburu dan bertani tersebut.
Diwaktu itu sudah dapat diperkirakan
bahwa antara Adat Nan Sabana Adat sudah hidup di tengah-tengah masyarakat
Minangkabau, mengingat akan ajaran adat Minangkabau itu sendiri, yaitu Alam
Takambang jadikan guru. Sedangkan Adat Nan Sabana Adat berisi tentang
hukum-hukum alam yang tidak berubah dari dahulu sampai sekarang seperti
dikatakan: Adat api mambaka, adat aia mamabasahi, adat tajam malukoi, adat
runciang mancucuak dan sebagainya (Adat api membakar, adat air membasahi, adat
tajam melukai, adat runcing mencucuk).
Demikian juga dengan Adat Nan
Diadatkan sudah ada waktu itu, yaitu sebagai hukum yang berlaku dalam
masyarakat. Barangkali di zaman inilah berlakunya apa yang dikenal dengan hukum
adat yang bersifat zalim dan tidak boleh dibantah yaitu hukum adat yang bernama
“Simumbang Jatuah” (simumbang jatuh), mumbang kalau jatuh tidak dapat
dikembalikan ke tempatnya lagi. Selanjutnya juga ada hukum yang bernama “si
gamak-gamak”, yaitu suatu aturan yang tidak dipikirkan masak-masak. Disamping
itu juga terdapat hukum yang dinamakan “Si lamo-lamo” yaitu siapa kuat siapa di
atas persis seperti hukum rimba.
Barangkali
hukum yang dinamakan “Hukum Tariak Baleh” juga berlaku di zaman ini. Hukum
Tariak Baleh hampir sama dengan hukum Kisas dalam agama Islam, misalnya orang
yang membunuh harus di hukum bunuh pula.
Keempat macam hukum adat itu memang
sesuai dengan zamannya dimana belum terlalu banyak pertimbangan terhadap suatu
yang dihadapi dalam kehidupan. Sampai kapan berlakunya hukum ini mungkin
berlangsung sampai masuknya agama Islam pertama ke Minangkabau kira-kira abad
ketujuh.
Zaman Purba Minangkabau berakhir
dengan masuknya Islam ke Minangkabau, yaitu kira-kira abad ketujuh, dimana buat
pertama kali di Sumatra Barat sudah didapati kelompok masyarakat Arab tahun
674. Kelompok masyarakat Arab ini sudah menganut agama Islam, bagaimanapun
rendahnya pendidikan waktu itu, tentu sudah pandai tulis baca, karena ajaran
Islam harus diperoleh dari Qur’an dan Hadist Nabi yang semuanya sudah
dituliskan dalam bahasa Arab. Dengan demikian diakhir bahagian ketiga abad
ketujuh itu zaman purba Minangkabau sudah berakhir.
A.2. Zaman Mula Sejarah Minangkabau
Yang dimaksud dengan zaman mula sejarah Minangkabau ialah zaman yang meliputi kurun waktu antara abad pertama Masehi dengan abad ketujuh. Dalam masa tersebut masa pra Sejarah masih berlanjut, tetapi masa itu dilengkapi dengan adanya berita-berita tertulis tertua mengenai Minangkabau seperti istilah San-Fo Tsi dari berita Cina yang dapat dibaca sebagai Tambesi yang terdapat di Jambi. Di daerah Indonesia lainnya juga sudah terdapat berita atau tulisan seperti kerajaan Mulawarman di Kutai Kalimantan dan Tarumanegara di Jawa Barat. Namun dari berita-berita itu belum banyak yang dapat kita ambil sebagai bahan untuk menyusun sebuah ceritera sejarah, karena memang masih sangat sedikit sekali dan masing-masingnya seakan-akan berdiri sendiri tanpa ada hubungan sama sekali. Untuk zaman ini Soekomono memberikan nama zaman Proto Sejarah Indonesia, yaitu peralihan dari zaman Prasejarah ke zaman sejarah.
Berita dai Tambo dan ceritera rakyat Minangkabau hanya mengemukakan secara semu mengenai hal ini, yaitu hanya menyebutkan tentang kehidupan orang Minangkabau zaman dahulu. Dalam hal ini Tambo mengemukakan sebagai berikut: ”…tak kalo maso dahulu…”…(Diwaktu zaman dahulu),. ”…dari tahun musim baganti, dek zaman tuka – batuka, dek lamo maso nan talampau, tahun jo musim nan balansuang…” (Karena tahun musim berganti, karena zaman bertukar-tukar, karena masa yang telah lewat, tahun dengan musim yang berlangsung),”… Antah barapo kalamonyo…”(entah berapa lamanya), dari ungkapan waktu yang demikian memang sulit sekali menentukan kapan terjadinya. Pengertian zaman dahulu itu saja sudah mengandung banyak kemungkinan tafsiran dan sangat relatif.
A.2. Zaman Mula Sejarah Minangkabau
Yang dimaksud dengan zaman mula sejarah Minangkabau ialah zaman yang meliputi kurun waktu antara abad pertama Masehi dengan abad ketujuh. Dalam masa tersebut masa pra Sejarah masih berlanjut, tetapi masa itu dilengkapi dengan adanya berita-berita tertulis tertua mengenai Minangkabau seperti istilah San-Fo Tsi dari berita Cina yang dapat dibaca sebagai Tambesi yang terdapat di Jambi. Di daerah Indonesia lainnya juga sudah terdapat berita atau tulisan seperti kerajaan Mulawarman di Kutai Kalimantan dan Tarumanegara di Jawa Barat. Namun dari berita-berita itu belum banyak yang dapat kita ambil sebagai bahan untuk menyusun sebuah ceritera sejarah, karena memang masih sangat sedikit sekali dan masing-masingnya seakan-akan berdiri sendiri tanpa ada hubungan sama sekali. Untuk zaman ini Soekomono memberikan nama zaman Proto Sejarah Indonesia, yaitu peralihan dari zaman Prasejarah ke zaman sejarah.
Berita dai Tambo dan ceritera rakyat Minangkabau hanya mengemukakan secara semu mengenai hal ini, yaitu hanya menyebutkan tentang kehidupan orang Minangkabau zaman dahulu. Dalam hal ini Tambo mengemukakan sebagai berikut: ”…tak kalo maso dahulu…”…(Diwaktu zaman dahulu),. ”…dari tahun musim baganti, dek zaman tuka – batuka, dek lamo maso nan talampau, tahun jo musim nan balansuang…” (Karena tahun musim berganti, karena zaman bertukar-tukar, karena masa yang telah lewat, tahun dengan musim yang berlangsung),”… Antah barapo kalamonyo…”(entah berapa lamanya), dari ungkapan waktu yang demikian memang sulit sekali menentukan kapan terjadinya. Pengertian zaman dahulu itu saja sudah mengandung banyak kemungkinan tafsiran dan sangat relatif.
Barangkali kehidupan zaman mula
sejarah Minangkabau ini hampir sama dengan kehidupan pada zaman Pra sejarahnya,
hanya saja di akhir zaman mula sejarah ini agama Islam sudah masuk ke
Minangkabau dan sudah ada berita-berita dari Cina. Dapat dikatakan, bahwa
cerita sejarah untuk zaman mula sejarah Minangkabau ini sangat sedikit sekali,
bahkan dapat dikatakan merupakan zaman yang paling gelap dalam sejarah
Minangkabau. Demikian gelapnya untuk menghubungkan zaman Pra Sejarah dengan
zaman sejarahnya kita tidak mempunyai sumber sama sekali, bukan lagi kabur,
tetapi sudah gelap gulita.
A.3. Zaman
Minangkabau Timur
Istilah ini dipinjam dari istilah yang dikemukakan oleh Drs. M. D. Mansoer dkk, dalam bukunya, Sejarah Minangkabau, dikatakannya Minangkabau mengalami dua periode, yaitu periode Minangkabau Timur yang berlangsung antara abad ketujuh sampai kira-kira tahun 1350 dan periode Minangkabau Pagaruyung antara tahun 1347-1809.
Istilah ini dipinjam dari istilah yang dikemukakan oleh Drs. M. D. Mansoer dkk, dalam bukunya, Sejarah Minangkabau, dikatakannya Minangkabau mengalami dua periode, yaitu periode Minangkabau Timur yang berlangsung antara abad ketujuh sampai kira-kira tahun 1350 dan periode Minangkabau Pagaruyung antara tahun 1347-1809.
Dikatakannya, bahwa
kerajaan-kerajaan lama, pusat perdagangan lada, pusat perekonomian, politik dan
budaya yang pertama timbul dan berkembang di Minangkabau adalah di lembah
aliran Batang Hari dan Sungai Dareh. Daerah itu berkembang pada abad ke tujuh
sampai pertengahan abad keempat belas.
Secara geografis memang pantai timur
pulau Sumatera lebih memungkinkan untuk dilayari oleh kapal-kapal dagang yang
dapat berlayar sampai masuk jauh kepedalaman. Daerah pantai Sumatera Timur ini
pulalah yangdahulu didatangi oleh nenek moyang orang Minangkabau yang berlayar
sampai ke daerah Mahat di Kabupaten Lima Puluh Kota sebelah Utara.
Pedagang-pedagang Islam yang mula-mula ke Minangkabau juga melalui daerah ini,
sehingga perdagangan diwaktu periode Minangkabau ini menjadi sangat ramai
sekali, bukan itu saja, Islam pertama pun masuk dari sini, baik yang dibawa
oleh pedagang-pedagang dari Arab sendiri, maupun yang dibawa oleh
pedagang-pedagang dari Persia, Hindustan, Cina, India dan lain-lain.
Pada permulaan abad Masehi
perpindahan bangsa-bangsa dari utara ke selatan telah berakhir. Mereka telah
menetap di sepanjang pantai kepulauan Nusantara. Setelah mereka menempati
kepulauan Nusantara dan hidup secara terpisah, akhirnya karena lingkungan alam
kehidupan bahasa yang mereka pergunakan pun mengalami perubahan seperti yang
kita kenal sekarang dengan suku-suku bangsa Minangkabau, Jawa, Bugis, Madura,
Sunda, Bali dan lain-lain.
Pada zaman purbakala, di Asia
terdapat dua jalan perdagangan yang ramai antara Barat dan Timur, yaitu melalui
darat dan laut, jalan yang melalui darat disebut jalan Sutera, mulai dari
daratan Cina melalui Asia Tengah sampai ke Laut Tengah. Perhubungan darat ini
sudah mulai semenjak abad kelima sebelum Masehi. Waktu dimulainya perpindahan
bangsa Melayu Muda ke arah selatan. Perhubungan darat ini terutama
menghubungkan antara Cina dengan Benua Eropah (Romawi) diwaktu itu dibawah raja
Iskandar Zulkarnain dan selanjutnya dengan menyinggahi daerah sepanjang
perjalanan seperti India, Persia dan lain-lain.
Perhubungan laut ialah dari Cina dan
Indonesia melalui selat Malaka terus ke Teluk Persia dan Laut Tengah.
Perhubungan laut ini menjadi sangat ramai pada awal abad pertama Masehi, karena
jalan darat mulai tidak aman lagi. Sejak waktu itulah daerah-daerah di Pantai
Timur Sumatera dan Pantai Utara Jawa menjadi daerah perhubungan antara
perdagangan Arab, India dan Cina. Keadaan ini memungkinkan pedagang-pedagang
Indonesia, termasuk di dalamnya pedagang-pedagang Minangkabau ikut aktif
berdagang.
Dengan aktifnya pedagang-pedagang
Minangkabau dalam perdagangan dengan India, maka terbuka pulalah perhubungan
antara kebudayaannya. Dari sini dapat kita lihat masuknya pengaruh Hindu ke
Minangkabau melalui daerah pantai timur pulau Sumatera. Dalam abad kedua
setelah Indonesia mempunyai perhubungan dengan India dan selama enam abad
berturut-turut pengaruh Hindu di Indonesia besar sekali.
Jadi karena
keadaan, pedagang-pedagang Minangkabau ikut terlibat dalam kancah lalu lintas
perdagangan yang ramai di Asia. Keadaan itu pulalah yang menyebabkan
Minangkabau di daerah aslinya sendiri yang jauh terletak di pedalaman.
Karena selat Malaka sangat ramai
dilalui oleh kapal-kapal dagang dari Cina dan India maka salah satu bandar
diselat itu bertumbuh dengan pesatnya sehingga akhirnya umbuh menjadi kerajaan
Melayu. Kerajaan Melayu ini menurut para ahli berpusat di daerah Jambi yang
sekarang dan diperkirakan berdirinya pada awal abad ketujuh Masehi. Nama Melayu
pertama kalinya muncul dalam cerita Cina. Dalam buku Tseh Fu-ji Kwei
diterangkan bahwa pada tahun 664 dan 665 kerajaan Melayu mengirimkan utusan
kenegeri Cina untuk mempersembahkan hasilnya pada raja Cina. Pada waktu itu
daerah Minangkabau merupakan daerah penghasil merica yang utama di dunia.
Rupanya Minangkabau Timur tidak lama
memegang peranan dalam perdagangan di Selat Malaka, kareana sesudah muncul
kerajaan Melayu dan kemudian sesudah kerajaan Melayu jatuh di bawah kekuasaan
Sriwijaya, Minangkabau Timur menjadi bahagian dari kerajan Sriwijaya.
Dengan berdirinya kerajaan Melayu
dan kerajaan Sriwijaya kelihatan peranan Minangkabau Timur tidak ada lagi,
karena berita-berita dari Cina hanya ada menyebut tentang Melayu dan Sriwijaya
saja.
Dalam satu buku yang disusun oleh
It-Tsing dapat kita ketahui bahwa dalam tahun 690 Masehi, Sriwijaya meluaskan
daerah kekuasaannya dan kerajaan Melayu dapat ditaklukannya sebelum tahun 692
Masehi.
Kerajaan Sriwijaya merupakan salah
satu kerajaan pantai, negara perniagaan dan perdagangan internasional dari Asia
Timur ke Asia Barat. Selama lebih kurang enam abad kerajaan Sriwijaya merupakan
kerajaan utama di daerah nusantara waktu itu. Namun sementara itu di Jawa mulai
timbul kerajaan-kerajaan baru yang lama-kelamaan menjadi saingan utama dari
kerajaan Sriwijawa dalam merebut hegemoni perdagangan di wilayah nusantara yang
menyebabkan lemahnya Sriwijaya.
Dalam hal ini lawan kerajaan
Sriwijaya yang utama adalah kerajaan Kediri di Jawa Timur dan Kerajaan
Colamandala di India selatan. Dari kelemahan Sriwijaya itu, rupanya kerajaan
Melayu dapat melepaskan diri dari Sriwijaya dan dapat memperkuat diri kembali
dengan memindahkan ibu kota kerajaan ke daerah hulu Sungai Batang Hari.
Kerajaannya dinamakan dengan Darmasraya. Hal ini dapat diketahui dari prasasti
Padang Candi tahun 1286 yang terdapat di Sungai Langsat Si Guntur dekat Sungai
Dareh dalam Propinsi Sumatera Barat sekarang.
Pada tahun 1275, Raja Kertanegara
dari kerajaan Singosari (kerajaan yang menggantikan kekuasaan Kediri di Jawa
Timur) mengirimkan suatu ekspedisi militer ke Sumatera dalam rangka melemahkan
kekuasaan Sriwijaya dan memperluas pengaruhnya di Nusantara. Ekspedisi ini
dikenal dalam sejarah Indonesia dengan nama ekspedisi Pamalayu.
Sebagai hasil dari ekspedisi itu,
maka Kertanegara pada tahun 1286 mengirimkan acara Amogapasa ke Sumatera
sebagai hadiah untuk raja dan rakyat kerajaan Melayu. Dengan kejadian ini dapat
diartikan, bahwa semenjak peristiwa itu kerajaan Melayu sudah mengikuti
kerajaan Singosari dan menjadi daerah tumpuan untuk menghadapi kemungkinan
serangan dari negeri Cina akibat peristiwa penghinaan terhadap utusan Cina
sebelumnya.
A.4.
Maharajo Dirajo
Dalam hal ini timbul suatu kontradiksi keterangan-keterangan, yaitu nama Maharajo Dirajo sudah disebutkan sebelumnya sebagai salah seorang panglima Iskandar Zulkarnain yang tugaskan menguasai Pulau Emas. Kalau memang demikian keadaannya, lalu bagaimana dengan Maharajo Dirajo yang sedang kita bicarakan ini yang waktunya sudah sangat jauh berbeda. Dalam hal ini kita tidak dapat memberikan jawaban yang pasti. Maharajo Dirajo yang sudah kita bicarakan hanya merupakan perkiraan saja dan belum tentu benar. Tetapi berdasarkan logika berfikir kira-kira diwaktu itulah hidupnya Maharajo Dirajo jika dihubungkan dengan nama Iskandar Zulkarnain. Sedangkan Maharajo Dirajo yang sedang dibicarakan sekarang ini adalah seperti yang dikatakan Tambo Alam Minangkabau yang mana yang benar perlu penelitian lebih lanjut. Dalam kesempatan ini kita hanya ingin memperlihatkan betapa rawannya penafsiran dari data yang diberikan Tambo Alam Minangkabau.
Dalam hal ini timbul suatu kontradiksi keterangan-keterangan, yaitu nama Maharajo Dirajo sudah disebutkan sebelumnya sebagai salah seorang panglima Iskandar Zulkarnain yang tugaskan menguasai Pulau Emas. Kalau memang demikian keadaannya, lalu bagaimana dengan Maharajo Dirajo yang sedang kita bicarakan ini yang waktunya sudah sangat jauh berbeda. Dalam hal ini kita tidak dapat memberikan jawaban yang pasti. Maharajo Dirajo yang sudah kita bicarakan hanya merupakan perkiraan saja dan belum tentu benar. Tetapi berdasarkan logika berfikir kira-kira diwaktu itulah hidupnya Maharajo Dirajo jika dihubungkan dengan nama Iskandar Zulkarnain. Sedangkan Maharajo Dirajo yang sedang dibicarakan sekarang ini adalah seperti yang dikatakan Tambo Alam Minangkabau yang mana yang benar perlu penelitian lebih lanjut. Dalam kesempatan ini kita hanya ingin memperlihatkan betapa rawannya penafsiran dari data yang diberikan Tambo Alam Minangkabau.
Maharajo
Dirajo yang sekarang dibicarakan adalah Maharajo Dirajo seperti yang dikatakan
Tambo. Dalam hal ini kita ingin mengangkat data dari Tambo menjadi Fakta
sejarah Minangkabau.
Dalam Tambo
disebutkan bahwa Iskandar Zulkarnain mempunyai tiga anak, yaitu Maharajo Alif,
Maharajo Dipang, dan Maharajo Dirajo. Maharajo Alif menjadi raja di Benua Ruhun
(Romawi), tetapi Josselin de Jong mengatakan, menjadi raja di Turki. Maharajo
Dipang menjadi raja di negeri Cina, sedangkan Maharajo Dirajo menjadi raja di
Pulau Emas (Sumatera).
Kalau kita
melihat kalimat-kalimat Tambo sendiri, maka dikatakan sebagai berikut:
“…Tatkala maso dahulu, batigo rajo naiek nobat, nan sorang Maharajo Alif, nan
pai ka banua Ruhun, nan sorang Maharajo Dipang nan pai ka Nagari Cino, nan
sorang Maharajo Dirajo manapek ka pulau ameh nan ko…” (pada masa dahulu kala,
ada tiga orang yang naik tahta kerajaan, seorang bernama Maharaja Alif yang
pergi ke negeri Ruhun, yang seorang Maharajo Dipang yang pergi ke negeri Cina,
dan seorang lagi bernama Maharajo Dirajo yang menepat ke pulau Sumatera).
Dari
keterangan Tambo itu tidak ada dikatakan angka tahunnya hanya dengan istilah
“Masa dahulu kala” itulah yang memberikan petunjuk kepada kita bahwa kejadian
itu sudah berlangsung sangat lama sekali, sedangkan waktu yang mencakup zaman
dahulu kala itu sangat banyak sekali dan tidak ada kepastiannya. Kita hanya
akan bertanya-tanya atau menduga-duga dengan tidak akan mendapat jawaban yang
pasti. Di kerajaan Romawi atau Cina memang ada sejarah raja-raja yang besar,
tetapi raja mana yang dimaksudkan oleh Tambo tidak kita ketahui. Dalam hal ini
rupanya Tambo Alam Minangkabau tidak mementingkan angka tahun selain dari
mementingkan kebesaran kemasyuran nama-nama rajanya.
Percantuman
raja Romawi dalam Tambo menurut hemat kita hanya usaha dari pembuat Tambo untuk
menyetarakan kemasyhuran raja Minangkabau dengan nama raja di luar negeri yang
memang sudah sangat terkenal di seantero penjuru dunia.
Dengan
mensejajarkan kedudukan raja-raja Minangkabau dengan raja yang sangat terkenal
itu maka pandangan rakyat Minangkabau terhadap rajanya sendiri akan semakin
tinggi pula. Disini kita bertemu dengan satu kebiasaan dunia Timur untuk
mendongengkan tuah kebesaran rajanya kepada anak cucunya.
Gelar
Maharajo Dirajo sendiri terlepas ada tidaknya raja tersebut, menunjukan
kebesaran kekuasaan rajanya, karena istilah itu berarti penguasa sekalian
raja-raja yang tunduk di bawah kekuasaannya. Josselin de Jong mengatakan Lord
of the Word atau Raja Dunia.
Dalam
sejarah Indonesia gelar Maharaja Diraja tidak hanya menjadi milik orang
Minangkabau saja, melainkan juga ada raja lain yang bergelar demikian seperti
Karta Negara dari Singasari dengan gelar Maharaja Diraja seperti yang tertulis
pada arca Amogapasa tahun 1286 sebagai atasan dari Darmasraya yang bernama raja
Tribuana.
Tambo
mengatakan bahwa Maharajo Dirajo adalah raja Minangkabau pertama. Tetapi ada
pendapat lain yang mengatakan bahwa Srimaharaja Diraja yang disebut dalam tambo
sebagai raja Minangkabau yang pertama itu tidak lain dari Adityawarman sendiri
yang menyebut dirinya dengan Maraja Diraja. Tentang Adityawarman mempergunakan
gelar Maharaja Diraja memang semua ahli sudah sependapat, karena Adityawarman
sendiri telah menulis demikian dalam prasasti Pagaruyung.
Dari gelar
Maharaja Diraja yang dipakai Adityawarman menunjukan kepada kita bahwa sewaktu
Adityawarman berkuasa di Minangkabau tidak ada lagi kekuasaan lain yang ada di
atasnya, atau dengan perkataan lain dapat dikatakan pada waktu itu Minangkabau
sudah berdiri sendiri, tidak berada di bawah kekuasaan Majapahit atau sudah
melepaskan diri dari Majapahit. Kerajaan Majapahit adalah ahli waris dari
Singasari. Sedangkan Singasari pernah menundukkan melayu Darmasraya, tentu
berada di bawah kekuasaan Singasari – Majapahit itu, maka untuk melepaskan diri
dari Singasari – Majapahit itu Adiyawarman memindahkan pusat kekuasaannya
kepedalaman Minangkabau dan menyatakan tidak ada lagi yang berkuasa di atasnya
dengan memakai gelar Maharaja Diraja.
Ada sesuatu
pertanyaan kecil yang perlu dijawab, yaitu apakah tidak ada lagi kemungkinan
bahwa gelar Maharajo Dirajo itu merupakan gelar keturunan bagi raja-raja
Minangkabau, sehingga diwaktu Adityawarman menjadi raja di Minangkabau dia
merasa perlu mempergunakan gelar tersebut agar dihormati oleh rakyat
Minangkabau. Kalau memang demikian, maka kita akan dapat menghubungkannya
dengan Maharajo Dirajo yang kita bicarakan kehidupannya sebelum abad Masehi.
Tetapi hal ini kembali hanya berupa dugaan saja yang masih memerlukan
pembuktian lebih lanjut.
Kalau kita
mengikuti pendapat yang mengatakan bahwa Maharaja Diraja itu sama dengan
Adityawarman, maka satu kepastian dapat dikatakan bahwa kerajaan Minangkabau
baru bermula pad tahun 1347, yaitu pada waktu Adityawarman menjadi raja di
Minangkabau yang berpusat di Pagaruyuang. Logikanya tentu sebelum Adityawarman,
belum ada raja di Minangkabau, kalau ada baru merupakan daerah-daerahyang dikuasai
oleh seorang kepala suku saja. Kalau pendapat itu tidak dapat diterima
kebenarannya, maka tokoh Maharajo Dirajo yang disebut di dalam Tambo itu masih
tetap merupakan seorang tokoh legendaris dalam sejarah Minangkabau dan hal ini
akan tetap mengundang bermacam-macam pertanyaan yang pro dan kontra.
Kemungkinan
gelar Maharajo sudah dipergunakan sebelum kedatangan Adityawarman memang ada.
Tetapi apakah gelar itu merupakan gelar keturunan dari raja-raja Minangkabau
masih belum lagi dapat diketahui dengan pasti. Yang jelas pada waktu sekarang
ini, banyak gelar para penghulu di Sumatera Barat yang memakai gelar Maharajo
sebagai gelar kepenghulunya disamping nama lainnya, seperti Dt. Maharajo, Dt.
Marajo, Dt. Maharajo Basa, Dt. Maharajo Dirajo.
Kelihatan
gelar tersebut dipergunakan oleh masyarakat Minangkabau sebagai gelar pusaka
yang turun-menurun. Sebaliknya raja-raja Pagaruyung sendiri tidak mempergunakan
gelar tersebut sebagai pusaka kerajaannya. Jadi, dapat disimpulkan bahwa gelar
Maharajo Dirajo tersebut merupakan gelar pusaka Minangkabau dan sudah ada
sebelum Adityawarman menjadi raja di Pagaruyung. Barangkali memang gelar itu
diturunkan dari Maharajo dirajo seperti disebutkan dalam Tambo itu.
A.5. Suri Dirajo, Cati Bilang Pandai Dan Indo Jati
Ketiga nama ini hanya terdapat dalam Tambo atau kaba yang banyak terdapat dalam masyarakat Sumatera Barat sekarang ini. Dari situlah bersumbernya ketiga nama tersebut, sedangkan sumber-sumber sejarah lainnya seperti prasasti dan tulisan lainnya tidak ada menyebut ketiga nama tersebut. Namun, sama halnya dengan nama Iskandar Zulkarnaen rakyat Sumatera Barat mempercayai ketiga nama tersebut sebagai cikal bakal orang Minangkabau.
Ketiga nama ini hanya terdapat dalam Tambo atau kaba yang banyak terdapat dalam masyarakat Sumatera Barat sekarang ini. Dari situlah bersumbernya ketiga nama tersebut, sedangkan sumber-sumber sejarah lainnya seperti prasasti dan tulisan lainnya tidak ada menyebut ketiga nama tersebut. Namun, sama halnya dengan nama Iskandar Zulkarnaen rakyat Sumatera Barat mempercayai ketiga nama tersebut sebagai cikal bakal orang Minangkabau.
Menurut
Tambo Zuriat Sultan Iskandar Zulkarnaen, sewaktu Maharajo bertolak dari Tanah
Basa, (India Selatan) memimpin satu rombongan yang terdiri dari: Suri Dirajo,
Indo Jati, Cati bilang Pandai, dan beberapa rombongan dari Campa, Siam, Kambai
dan lain-lain berlayar mengarungi lautan Indonesia lalu menetap ke gunung
Merapi. P. E. Josselin de Jong juga menyebutkan nama Cati Bilang Pandai sebagai
penasehat dari Maharajo.
Perlu
dijelaskan bahwa nama Indo Jati sering disebutkan dengan sebutan yang berbeda,
walaupun orangnya itu juga. Hamka menyebutkan dengan nama Indo Jelita atau
dengan nama lain Ceti Reno Sudah. PE Josselin de Jong menyebut dengan nama Indo
Calita. Sedangkan untuk kedua nama yang lain tidak ada perbedaan sebutan.
Sekarang timbul pertanyaan: Apakah ketiga nama itu betul-betul merupakan nenek
moyang orang Minangkabau di zaman dahulu dengan pengertian benar-benar ada
dalam sejarah Minangkabau. Jawabannnya mudah saja, karena tidak ada bukti-bukti
lain yang akan mendukung, maka secara historis ketiga tokoh ini hanya merupakan
tokoh legendaris belaka dalam sejarah Minangkabau. Keberadaannya sebagai tokoh
sejarah tidak dapat dibuktikan.
Namun
demikian, hampir semua Tambo Minangkabau sependapat mengatakan bahwa Suri
Dirajo dan Cati Bilang Pandai adalah tokoh yang melambangkan orang pandai, ahli
pikir, baik di bidang pemerintahan maupun di bidang kemasyarakatan. Segala
sesuatu yang dikerjakan, terlebih dahulu harus mendapat persetujuan dari salah
seorang kedua tokoh itu, demikian besar pengaruhnya di samping Maharajo Dirajo
sendiri.
Sedangkan
menurut Hamka, tokoh Indo Jati yang disebutnya sebagai Indra Jati melambangkan
sesuatu yang luhur asal-usulnya. Dalam kepercayaan Hindu nama Indra adalah nama
seorang dewa yang merupakan salah seorang dewa utama Trimurti. Indra adalah
salah satu penjelmaan Wisnu sebagai Dewa Matahari. Gelar dewa jelas menunjukkan
seorang kesatria yang berdarah luhur. Jadi tokoh Indo Jati adalah salah seorang
tokoh wanita kesatria dari rombongan Maharajo Dirajo.
A.6. Datuk
Ketumanggungan Dan Datuk Perpatih Nan Sabatang
Siapa tokoh ini?. Apakah mereka juga merupakan dua orang legendaris sejarah Minangkabau?. Atau apakah keduanya merupakan tokoh historis sejarah Minangkabau yang benar-benar ada dan hidup dalam sejarah Minangkabau pada masa dahulu. Penjelasan berikut ini dapat menjawab beberapa pertanyaan itu.
Siapa tokoh ini?. Apakah mereka juga merupakan dua orang legendaris sejarah Minangkabau?. Atau apakah keduanya merupakan tokoh historis sejarah Minangkabau yang benar-benar ada dan hidup dalam sejarah Minangkabau pada masa dahulu. Penjelasan berikut ini dapat menjawab beberapa pertanyaan itu.
Suku bangsa Minangkabau,
dari dahulu hingga sekarang, mempercayai dengan penuh keyakinan, bahwa kedua
orang tokoh itu merupakan pendiri Adat Koto Piliang dan Adat Bodi Caniago yang
sampai sekarang masih hidup subur di dalam masyarakat Minangkabau, baik yang
ada di Sumatera Barat sendiri maupun yang ada diperantauan.
Demikian
kokohnya sendi-sendi kedua adat itu sehingga tidak dapat digoyahkan oleh
bermacam-macam pengaruh dari luar, dengan pengertian akan segera mengadakan
reaksi membalik apabila terjadi perbenturan terhadap unsur-unsur pokok adat
itu. Hal ini telah dibuktikan oleh perputaran masa terhadap kedua adat itu.
Ada petunjuk
bagi kita bahwa kedua tokoh itu memang merupakan tokoh sejarah Minangkabau.
Pitono mengambil kesimpulan bahwa dari bait kedua prasasti pada bagian belakang
arca Amogapasa, antara tokoh adat Datuk Perpatih Nan Sabatang dengan tokoh Dewa
Tuhan Perpatih yang tertulis pada arca itu adalah satu tokoh yang sama.
Dijelaskan
selanjutnya bahwa pada prasasti itu tokoh Dewa Tuhan Perpatih sebagai salah seorang
terkemuka dari raja Adityawarman yaitu salah seorang menterinya. Jadi tokoh
Dewa Tuhan yang ada pada prasasti yang terdapat di Padang Candi itu adalah sama
dengan Datuk Perpatih Nan Sabatang. Demikian kesimpulannya.
Kalau
pendapat ini memang benar, maka dapat pula dibenarkan bahwa tokoh Datuk
Perpatih Nan Sabatang itu adalah merupakan salah seorang tokoh historis dalam
sejarah Minangkabau, karena namanya juga tertulis pada salah satu prasasti
sebagai peninggalan sejarah yang nyata-nyata ada.
Bukti lain
mengenai kehadiran tokoh tersebut dalam sejarah Minangkabau adalah dengan
adanya Batu Batikam di Dusun Tuo Lima Kaum, Batusangkar. Dikatakan dalam Tambo,
bahwa sebagai tanda persetujuan antara Datuk Perpatih Nan Sabatang dengan Datuk
Ketumanggungan, Datuk Perpatih Nan Sabatang menikamkan kerisnya kepada sebuah
batu, hal ini sebagai peringatan bagi anak cucunya dikemudian hari. Sebelum
peristiwa ini terjadi antara kedua tokoh adat itu terjadi sedikit kesalah
pahaman. Adanya Batu Batikam itu yang sampai sekarang masih terawat dengan
baik, dan ini membuktikan kepada kita bahwa kedua tokoh itu memang ada dalam
sejarah Minangkabau, bukan sekedar sebagai tokoh dongeng saja sebagaimana
banyak ahli-ahli barat mengatakannya.
Bukti lain
dalam hikayat raja-raja Pasai. Dikatakan bahwa dalam salah satu perundingan
dengan Gajah Mada yang berhadapan dari Minangkabau adalah Datuk Perpatih Nan
Sabantang tersebut. Hal ini membuktikan pula akan kehadiran tokoh itu dalam
sejarah Minangkabau.
Di Negeri
Sembilan, sebagai bekas daerah rantau Minangkabau seperti dikatakan Tambo,
sampai sekarang juga dikenal Adat Perpatih. Malahan peraturan adat yang berlaku
di rantau sama dengan peraturan adat yang berlaku di daerah asalnya. Hal ini
juga merupakan petunjuk tentang kehadiran Datuk Parpatih Nan Sabantang dalam
sejarah Minangkabau. Menurut pendiri adat Koto Piliang oleh Datuk
Ketumanggungan dan Adat Budi Caniago oleh Datuk Perpatih Nan Sabatang.
Sesudah
ternyata terbukti bahwa kedua tokoh itu benar-benar hadir dalam sejarah
Minangkabau, maka ada hal sedikit yang kurang benar yang dikemukakan oleh
Pinoto. Dia mengatakan bahwa kedua tokoh itu merupakan pembesar dengan
kedudukan menteri dalam kerajaan Adiyawarman. Tetapi pencantuman kedua tokoh
itu dalam Prasasti Adityawarman tidaklah berarti bahwa menjadi menterinya,
melainkan untuk menghormatinya, karena sebelum Adityawarman datang, kedua tokoh
itu sudah ada di Minangkabau yang sangat dihormati oleh rakyatnya. Maka oleh
Adityawarman untuk menghormati kedudukan kedua tokoh itu dicantumkan nama
mereka pada prasastinya. Tidak sembarang orang yang dapat dicantumkan di dalam
prasasti itu, kecuali tokoh yang betul-betul sangat terhormat.
Walaupun
Datuk Parpatih Nan Sabatang dan Datuk Ketumanggungan sudah merupakan tokoh
historis dalam sejarah Minangkabau sesuai dengan bukti-bukti yang dikemukakan,
akan tetapi keduanya bukanlah merupakan raja Minangkabau, melainkan sebagai
pemimpin masyarakat dan penyusun kedua adat yang hidup dalam masyarakat
Minangkabau sekarang ini, yaitu adat Koto Piliang dan Adat Bodi Caniago, bagi
masyarakat Minangkabau sendiri kedudukan yang sedemikian, jauh lebih tinggi
martabatnya dari kedudukan seorang raja yang manapun.
Antara Datuk
Parpatih Nan Sabatang dan Datuk Ketumanggungan adalah dua orang bersaudara satu
Ibu berlainan Ayah. Karena ada sedikit perbedaan dari apa yang dikatakan Tambo
mengenai siapa ayah dan ibu dari kedua orang itu, rasanya pada kesempatan ini
tidak perlu dibicarakan perbedaan itu. Tetapi dari apa yang dikatakan itu dapat
ditarik kesimpulan bahwa ayah Datuk Ketumanggungan adalah suami pertama ibunya
(Indo Jati). Berasal dari yang berdarah luhur atau dari keturunan raja-raja.
Sedangkan ayah dari Datuk Parpatih Nan Sabatang adalah Cati Bilang Pandai suami
kedua ibunya yang berasal dari India Selatan juga. Perbedaan darah leluhur dari
keduanya itu menyebabkan nantinya ada sedikit perbedaan dalam ajaran yang
disusun mereka. Kesimpulannya adalah bahwa kedua orang itu yaitu Datuk
Ketumanggungan dan Datuk Parpatih Nan Sabatang adalah dua tokoh historis dalam
sejarah Minangkabau, bukan tokoh legendaris sebagaimana yang dianggap oleh
kebanyakan penulis-penulis barat.
A.7. Masa Pemerintahan Adityawarman
Adityawarman bukan raja di Minangkabau, melainkan adalah raja di kerajaan Pagaruyung yang merupakan salah satu periode dari sejarah Minangkabau yang sangat panjang. Agar tidak mendatangkan keraguan kepada kita, maka kerajaan yang diperintahkan oleh Adityawarman kita namai kerajaan Pagaruyung saja.
Adityawarman bukan raja di Minangkabau, melainkan adalah raja di kerajaan Pagaruyung yang merupakan salah satu periode dari sejarah Minangkabau yang sangat panjang. Agar tidak mendatangkan keraguan kepada kita, maka kerajaan yang diperintahkan oleh Adityawarman kita namai kerajaan Pagaruyung saja.
Untuk
mengetahui siapa sebenarnya Adityawarman, perlu kita tinjau kembali hasil dari
ekspedisi Pamalayu oleh Kartanegara pada tahun 1275, bukan hasil secara
keseluruhan melainkan hasil yang berhubungan dengan asal-usul Adityawarman
saja.
Setelah
ekspedisi itu berhasil, maka sewaktu rombongan ekspedisi kembali ke Jawa, mereka
membawa Dara Jingga dan Dara Petak. Sesampai di Jawa kerajaan Singasari telah
diganti oleh kerajaan Majapahit. Maka Dara Petak diambil sebagai selir oleh
Raden Wijaya yang menjadi raja pertama kerajaan Majapahit. Dari perkawinan ini
nanti akan melahirkan seorang putra yang pada waktunya akan menjadi raja di
Majapahit. Puteranya tersebut bernama Jayanegara.
Dara Jingga
kawin dengan salah seorang pembesar kerajaan Majapahit dan melahirkan seorang
putera yang nama kecilnya. Aji Mantrolot. Aji Mantrolot ini yang kemudian
dikenal sebagai Adityawarman. Dengan demikian Adityawarman merupakan keturunan
dari dua darah kaum bangsawan, satu darah bangsawan Sumatera dan satu darah
bangsawan Majapahit. Raja Majapahit yang kedua yaitu Jayanegara adalah saudara
sepupu dari Adityawarman.
Mengenai
asal-usul Adityawarman ini, Muhammad Yamin mengatakan bahwa Adityawarman
berasal dari tanah Minangkabau di Pulau Sumatera. Tempat lahirnya terletak di
Siguntur dekat nagari Sijunjung. Diwaktu muda dia berangkat ke Majapahit, tempat
dia dididik disekeliling pusat pemerintahan dalam suasan keraton Majapahit.
Kesempatan yang diperdapatnya itu berasal dari turunannya. Ayah bundanya
mempunyai hubungan darah dengan permaisuri raja Majapahit yang pertama.
Pendapat
Muhammad Yamin mengenai tempat kelahiran Adityawarman dan hubungan
kekeluargaannya dengan Kerajaan Majapahit diperkuat oleh Pinoto yang
mengatakan, bahwa Adityawarman adalah seorang putera Sumatera yang lahir di
daerah aliran Sungai Kampar dan besar kemungkinan dalam tubuhnya mengalir darah
Majapahit. Hubungan dengan kerajaan Majapahit bersifat geneologis dan politis.
Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa Adityawarman dilahirkan di Kerajaan Melayu
atau Minangkabau dan dibesarkan di Kerajaan Majapahit. Di keraton Majapahit Adityawarman
di didik bersama saudara sepupunya Jayanegara yang kemudian menjadi raja
Majapahit yang kedua. Di keraton Majapahit kedudukan Adityawarman sangat
tinggi, yaitu berkedudukan sebagai salah seorang menteri atau perdana menteri
yang diperolehnya bukan saja karena hubungan darahnya dengan raja Majapahit
tetapi juga berkat kecakapannya sendiri. Tahun 1325 raja Jayanegara mengirim
Adityawarman segbagai utusan ke negeri Cina yang berkedudukan sebagai duta.
Bersama dengan Patih Gajah Mada, Adityawarman ikut memperluas wilayah kekuasaan
Majapahit di Nusantara. Tahun 1331 Adityawarman memadamkan pemberontakan Sadeng
dengan suatu perhitungan yang jitu. Tahun 1332 dia dikirim kembali menjadi
utusan ke negeri Cina dengan kedudukan sebagai duta. Pada tahun 1334 Adityawarman
pulang kembali ke negeri asalnya. Karena dengan lahir dan menjadi besarnya
Hayam Wuruk tidak ada lagi kesempatan bagi Adityawarman utnuk menjujung mahkota
kerajaan Majapahit sebagai ahli waris yang terdekat.
Adityawarman
adalah cucu dari raja Melayu karena ibunya Dara Jingga adalah anak Tribuana
raja Mauliwarmadewa, raja kerajaan Melayu. Oleh karena itu, Adityawarman berhak
atas takhta kerajaan Melayu tersebut. Timbulnya keinginan Adityawarman untuk
mendirikan kerajaan Melayu yang mandiri, disebabkan karena kegagalan usaha
patih Gajah Mada menguasai selat malaka. Pada tahun 1347 Adityawarman menjadi
raja kerajaan Melayu yang dipusatkan di Darmasraya. Hal ini dapat dibuktikan
dengan prasasti yang dipahatkan pada bagian belakan arca Amogapasa dari Padang
Candi. Dalam Prasasti itu Adityawarman memakai nama : “Udayadityawarman
Pratakramarajendra Mauliwarmadewa” dan bergelar “Maharaja Diraja” dengan
memakai gelar tersebut rupanya Adityawarman hendak menyatakan bahwa dia
merupakan raja yang berdiri sendiri dan tidak ada lagi raja yang berada di
atasnya. Dengan demikian dia sudah bebas dari Majapahit. Sebagai realisasi dari
pernyataan tersebut, maka Adityawarman pada tahun 1349 memindahkan pusat
kerajaan dari Darmasraya ke Pagaruyung di Batusangkar.
Selama
pemerintahannya Adityawarman berusaha membawa kerajaan Pagaruyung ke puncak
kejayaannya. Dalam usaha memajukan kerajaan itu Adityawarman mengadakan
hubungan dengan luar negeri, yaitu dengan Cina. Tahun 1357, 1375, 1376
Adityawarman mengirim utusan ke negeri Cina. Selama masa pemerintahannya di
Pagaruyung yang berlangsung dari tahun 1349 sampai 1376, kerajaan Pagaruyung
berada di puncak kejayaannya. Bahkan dapat dikatakan pada waktu itu Indonesia
bagian barat dikuasai kerajaan Pagaruyung dan Indonesia bagian Timur berada di
bawah pengaruh kekuasaan Majapahit.
Adityawarman
sebagai orang yang dididik dan dibesarkan di Majapahit serta telah pula pernah
menjabat beberapa jabatan penting di kerajaan Majapahit, tentulah paham betul
dengan seluk beluk pemerintahan di Majapahit. Dengan demikian corak
pemerintahan kerajaan Majapahit sedikit banyaknya berpengaruh pada corak
pemerintahan Adityawarman di Pagaruyung. Hal ini ternyata pada prasasti yang
ditinggalkan Adityawarman terdapat nama Dewa Tuhan Perpatih dan Tumanggung yang
oleh Pinoto dibaca Datuk Perpatih Nan Sabatang dan Datuk Ketumanggungan.
Menurut
Tambo kekuasaan Adityawarman hanya terbatas di daerah Pagaruyung, sedangkan
daerah lain di Minangkabau masih tetap berada dibawah pengawasan Datuk Perpatih
Nan Sabatang dan Datuk ketumanggungan dengan pemerintahan adatnya. Dengan
demikian di Pagaruyung Adityawarman dapat dianggap sebagai lambang kekuasaan
saja, sedangkan kekuasaan sebenarnya tetap berada di tangan kedua tokoh
pemimpin adat tersebut, sehingga hal ini menyebabkan kemudian pengaruh budha
yang dibawa ke Pagaruyung tidak dapat tempat di hati rakyat Minangkabau, karena
prinsipnya rakyat Minangkabau sendiri secara langsung tidak berkenalan dengan
pengaruh-pengaruh tersebut. Disamping itu, selama menjadi raja Pagaruyung yang
mengatur kehidupan masyarakat Minangkabau tetap hukum Adat Koto Piliang dan
Bodi Caniago. Dalam hal ini Tambo mengatakan bahwa Adityawarman walaupun sudah
menjadi raja yang besar, tetap saja merupakan seorang sumando di Minangkabau,
artinya kekuasaannya sangat terbatas.
Barangkali
hal ini memang disengaja oleh Datuk yang berdua itu, mengingat pada mulanya
kekuasaan Adityawarman yang sangat besar sekali. Agar kehidupan masyarakat
Minangkabau jangan terpengaruh oleh kebiasaan yang dibawa oleh Adityawarman
maka kedua Datuk itu memagarinya dengan pengaturan kekuasaan, Adityawarman
boleh menjadi raja yang sangat besar, tetapi kekuasaannya hanya terbatas di
sekitar istana saja, sedangkan kekuasaan langsung terhadap masyarakat tetap
dipegang oleh mereka. Sesudah meninggalnya Adityawarman yang memang merupakan
seorang raja yang besar dan kuat, kekuasaan kerajaan Pagaruyung mulai luntur.
Kelihatannya dengan pengaturan yang dilakukan oleh Datuk Perpatih Nan Sabatang
berdua dengan Datuk Ketumanggungan tidak memberi kesempatan kepada pengganti
Adityawarman yang menganut agama budha untuk berkuasa seterusnya.
Adityawarman
sebagai raja Pagaruyung merupakan seorang raja yang paling banyak meninggalkan
prasasti. Hampir dua puluh buah prasasti yang ditinggalkannya. Diantaranya yang
telah dibaca seperti Prasasti Arca Amogapasa, Kuburajo, Saruaso I dan II,
Pagaruyung, Kapalo Bukit Gambak I dan II, Banda Bapahek, dan masih banyak lagi
yang belum dapat dibaca.
Diantara
yang telah dapat dibaca itu menyatakan kebesaran dan kemegahan kerajaan
Pagaruyung, barangkali diantara raja-raja yang pernah ada di Indonesia tidak
ada seorang pun yang pernah meninggalkan prasasti sebanyak yang telah
ditinggalkan oleh Adityawarman. Sayangnya di Minangkabau kebiasaan seperti itu
hanya dilakukan oleh Adityawarman seorang raja. Sebelum dan sesudahnya
Adityawarman tidak ada yang membiasakan sehingga sampai sekarang kebanyakan
data sejarah Minangkabau agak gelap.
Sesudah
Adityawarman meninggal kerajaan Pagaruyung yang tidak lagi mempunyai raja yang
merupakan keturunan darah langsung dari Adityawarman. Sedangkan Ananggawarman
yang dikatakan dalam salah satu prasasti Adityawarman sebagai anaknya tidak
pernah memerintah, karena kekuasaan Adityawarman langsung digantikan oleh Yang
Dipertuan Sultan Bakilap Alam. Dari sebutan raja itu saja, kelihatannya sesudah
Adityawarman raja yang menggantikannya sudah menganut agama Islam.
Adanya
Sultan Bakilap Alam sebagai raja Minangkabau Pagaruyung dijelaskan oleh Tambo
Minangkabau. Dengan sudah dianutnya agama Islam oleh pengganti Adityawarman,
maka hilang pulalah pengaruh agama Budha yang dianut Adityawarman di
Minangkabau.
Sampai
dengan pertengahan abad ke-16 sesudah Adityawarman kita tidak memperoleh
keterangan yang lengkap mengenai kerajaan Pagaruyung. Rupanya sesudah
Adityawarman meninggal, kerajaan Majapahit kembali berusaha untuk menguasai
Pagaruyung serata Selat Malaka. Tetapi usaha tersebut gagal kaena angkatan
perang kerajaan Majapahit yang datang dari arah pantai timur dikalahkan oleh
tentara Pagaruyung dalam pertempuran di Padang Sibusuk tahun 1409.
Akibat
pertempuran Padang Sibusuk itu membawa akibat yang sangat besar dalam struktur
pemerintahan kerajaan Pagaruyung selanjutnya. Semasa Adityawarman menjadi raja,
pemerintahan bersifat sentralisasi menurut sistem di Majapahit. Tetapi sesudah
pertempuran Padang Sibusuk itu, nagari-nagai di Minangkabau membebaskan diri
dari kekuasaan yang berpusat di Pagaruyung.
A.8.
Kerajaan Pagaruyung Sesudah Adityawarman
Dari berita Tambo Pagaruyung dapat diketahui bagaiman keadaan Pagaruyung sesudah Adiyawarman demikian pula wawancara dengan S.M. Taufik Thaib SH. Dikatakan mengenai silisilah raja-raja Pagaruyung adalah sebagai berikut:
Dari berita Tambo Pagaruyung dapat diketahui bagaiman keadaan Pagaruyung sesudah Adiyawarman demikian pula wawancara dengan S.M. Taufik Thaib SH. Dikatakan mengenai silisilah raja-raja Pagaruyung adalah sebagai berikut:
- Adityawarman (1339-1376)
- Ananggawarman (1376)
- Yang Dipertuan Sultan Bakilap Alam
- Yang Dipertuan Sultan Pasambahan
- Yang Dipertuan Sultan Alif gelar Khalifafullah
- Yang Dipertuan Sultan Barandangan
- Yang Dipertuan Sultan Patah (Sultan Muning II)
- Yang Dipertuan Sultan Muning III
- Yang Dipertuan Sultan Sembahwang
- Yang Dipertuan Sultan Bagagar Syah
- Yang Dipertuan Gadih Reni Sumpur 1912
- Yang Dipertuan Gadih Mudo (1912-1915)
- Sultan Ibrahim 1915-1943 gelar Tuanku Ketek
- Drs. Sultan Usman 1943 (Kepala Kaum Keluarga Raja Pagaruyung)
Dari data
ini dapat ditarik kesimpulan bahwa sesudah Adityawarman raja-raja di Pagaruyung
sudah menganut agama Islam sesuai dengan sebutan Sultan (pengaruh Islam).
Bila Sultan
Bakilap Alam memerintah tidak disebutkan oleh tambo tersebut, tetapi dapat
diperkirakan sesudah tahun 1409, karena sampai 1409 pemerintahan Pagaruyung
masih bersifat sentralisasi seperti sewaktu pemerintahan Adityawarman. Sesudah
tahun tersebut pemerintahan Pagaruyung sudah desentralisasi dengan pengertian
bahwa nagari-nagari sudah mempunyai otonom penuh dan pemerintahan di Pagaruyung
sudah mulai melemah.
Selanjutnya
dikatakan bahwa di atas pemerintahan nagari-nagari terlihat adanya dua tingkat
pemerintahan yaitu Rajo Tigo Selo dan Basa Ampek Balai. Rajo Tigo Selo
dimaksudkan adalah tiga orang raja yang sekaligus berkuasa di bidang
masing-masing. Raja Alam berkedudukan di Pagaruyung sebagai pucuk pimpinan,
Raja Adat berkedudukan di Buo yang melaksanakan tugas-tugas kerajaan dibidang
adat. Raja Ibadat berkedudukan di Sumpur Kudus dan melaksanakan urusan
keagamaan kerajaan. Gambaran ini adalah lembaga pemerintahan di tingkat raja.
Sedangkan
ditingkat Menteri dan Dewan Menteri yang dimaksud dengan Basa Ampek Balai
terdiri dari:
1. Bandaro (Titah) di Sungai Tarab sebagai Perdana Menteri
2. Tuan Kadi di Padang Ganting yang mengurus masalah Agama
3. Indomo di Saruaso mengurus masalah keuangan
4. Makhudum di Sumanik yang mengurus masalah pertahanan dan rantau
1. Bandaro (Titah) di Sungai Tarab sebagai Perdana Menteri
2. Tuan Kadi di Padang Ganting yang mengurus masalah Agama
3. Indomo di Saruaso mengurus masalah keuangan
4. Makhudum di Sumanik yang mengurus masalah pertahanan dan rantau
Masyarakat
nagari dalam mengusut persoalannya berjenjang naik sampai ketingkat kerajaan.
Dibidang adat dari nagari terus ke Bandaro dan kalau tidak putus juga
diteruskan lagi kepada Raja Buo dan kalau tidak putus juga masalahnya
diteruskan lagi kepada Raja Alam di Pagaruyung yang akan memberikan kata putus.
Begitu juga dalam bidang agama. Dari nagari naik kepada tuan Kadi di Padang
Ganting, terus kepada raja Ibadat di Sumpur Kudus, dan bula tidak selesai juga
akhirnya sampai kepada raja Alam yang akan memberikan kata putusnya.
Selanjutnya
dikatakan bahwa Lembaga Rajo Tigo Selo dibentuk bersama dengan pembentukan
Lembaga Basa Ampek Balai. Penobatan dan pelatikan Rajo Tigo Selo dan Basa Ampek
Balai bersamaan pula dengan pengangkatan dan pengiriman “Sultan Nan Salapan” ke
daerah rantau Minangkabau yaitu daerah-daerah: Aceh, Palembang, Tambusai, Rao,
Sungai Pagu, Bandar Sepuluh, Siak Indra Pura, Rembau Sri Menanti dan lain-lain.
Pengangkatan dan pelantikan itu dilakukan oleh Sultan Bakilap Alam.
Dalam hal
ini Bahar Dt Nagari Basa, mengatakan bahwa Basa Ampek Balai pada mulanya
terdiri dari Bandaro di Sungai Tarap, yang menjadi Payung Panji Koto Piliang;
Datuk Makhudum di Sumanik yang menjadi Pasak Kungkung Koto Piliang; Indomo di
Saruaso yang menjadi Amban Puruak (bendahara) Koto Piliang; Tuan Gadang di
Batipuah yang menjadi Harimau Campo Koto Piliang, yaitu Menteri Pertahanan Koto
Piliang. Kemudian setelah Islam masuk ke Minangkabau dimasukkan Tuan Kadhi
sebagai anggota Basa Ampek Balai dan “Tuan Gadang” di Batipuh ke luar dari
keanggotaan itu dengan berdiri sendiri sebagai orang yang bertanggung jawab
dalam masalah pertahanan Koto Piliang. Semuanya itu terdapat di Tanah Datar
yang merupakan pucuk pimpinan di Minangkabau. Selanjutnya dikatakan yang
menjadi kebesaran Luhak Agam adalah Parik Paga dan Kebesaran Lima Puluh Kota
adalah Penghulu.
Dari
keterangan itu yang dapat diambil kesimpulan bahwa Lembaga Basa Ampek Balai
sudah ada sebelum Islam masuk ke Minangkabau dengan bukti seperti yang
dikatakan oleh Datuk Nagari Basa dengan susunan yang sedikit berbeda dari apa
yang kita kenal kemudian. Baru sesudah Islam masuk ke Minangkabau kedudukan
Tuan Kadhi diserahkan untuk mengurus masalah agama Islam. Selanjutnya susunan
Basa Ampek Balai dengan Tuan Gadang sudah seperti yang kita kenal sekarang ini.
Mengenai
susunan pemerintahan Pagaruyung sesudah Adityawarman ini diuraikan dengan
lengkap dalam cerita Cindua Mato. Cindua Mato (Candra Mata) adalah sebuah
cerita rakyat Minangkabau yang menggambarkan tentang keadaan pemerintahan
Minangkabau Pagaruyung di zaman kebesarannya. Walaupun dalam cerita ini
mengenai raja-raja yang diceritakan sudah ada unsur legendanya, tetapi yang
mengenai masalah lainnya sama dengan apa yang dikatakan Tambo.
Menurut
Tambo, Basa Ampek Balai pernah memegang kedudukan Raja Alam yaitu sesudah
Sultan Alif meninggal, karena orang yang akan menggantikan Sultan Alih masih
belum dewasa. Buat sementara dipegang oleh Basa Ampek Balai.
A.9. Kedatangan Bangsa Barat Ke Minangkabau
Hubungan Minangkabau dengan bangsa Barat yang pertama kali dilakukan dengan bangsa Portugis. Menurut berita Portugis, permulaan abad ke 16 ada utusan kerajaan Melayu yang datang ke Malaka. Kedatangan utusan tersebut adalah untuk membicarakan masalah perdagangan dengan bangsa Portugis yang waktu itu menguasai Malaka. Tetapi dengan berhasilnya Aceh menguasai pesisir barat pulau Sumatera, maka hubungan dagang dengan Portugis itu terputus.
Hubungan Minangkabau dengan bangsa Barat yang pertama kali dilakukan dengan bangsa Portugis. Menurut berita Portugis, permulaan abad ke 16 ada utusan kerajaan Melayu yang datang ke Malaka. Kedatangan utusan tersebut adalah untuk membicarakan masalah perdagangan dengan bangsa Portugis yang waktu itu menguasai Malaka. Tetapi dengan berhasilnya Aceh menguasai pesisir barat pulau Sumatera, maka hubungan dagang dengan Portugis itu terputus.
Dengan
bangsa Belanda hubungan Minangkabau terjadi pertama kali kira-kira tahun 1600,
diwaktu Pieter Both memerintahkan Laksamana Muda Van Gaedenn membeli lada ke
pantai barat pulau Sumatera. Waktu itu beberapa pelabuhan yang ada disana
menolak permintaan Belanda dibawah kekuasaan Kerajaan Aceh.
Pada waktu
Sultan Iskandar Muda dari kerajaan Aceh meninggal dunia, maka kekuasaan
kerajaan Aceh menjadi lemah, sehingga mulai tahun 1636 sewaktu Iskandar Muda
meninggal dunia, daerah-daerah Pesisir Barat kerajaan Pagaruyung mulai
membebaskan diri dari kekuasaan Aceh dan melakukan hubungan dagang langsung
dengan Belanda, seperti yang dilakukan oleh raja-raja Batang Kapas, Salido,
Bayang di Pesisir Selatan.
Pada tahun
1641 Belanda merebut Malaka dari Portugis dan semenjak itu Belanda mulai
memperbesar pengaruhnya di pesisir barat Sumatera untuk menggantikan kerajaan
Aceh. Mula-mula Belanda mendirikan kantor dagangnya di Inderapura terus ke
Salido. Kemudian di Pulau Cingkuak juga didirikan lojinya pada tahun 1664 untuk
mengatasi perlawanan rakyat pesisir yang dikoordinir oleh Aceh.
Untuk
melepaskan pesisir barat pulau Sumatera dari pengaruh Aceh, maka Belanda
melakukan perjanjian dengan raja Pagaruyung yang merupakan pemilik sesungguhnya
dari daerah tersebut. Oleh raja Pagaruyung Belanda diberikan kebebasan untuk
mengatur perdagangannya pada daerah tersebut. Perjanjian itu dilakukan pihak
Belanda dengan Sultan Ahmad Syah pada tahun 1668.
Mulai saat
itu Belanda, melangkah selangkah demi selangkah menanamkan pengaruhnya di
Sumatera Barat dengan jalan politik pecah belahnya yang terkenal itu. Disatu
pihak mereka menimbulkan perlawanan rakyatnya terhadap raja atau pemimpinnya
sesudah itu mereka datang sebagai juru selamat dengan mendapat imbalan yang
sangat merugikan pihak Minangkabau, sehingga akhirnya seluruh Minangkabau dapat
dikuasai Belanda.
Semenjak
abad ke 17 terjadi persaingan dagang yang sangat memuncak antara bangsa Belanda
dengan bangsa Inggris di Indonesia. Pada tahun 1684 Belanda dapat mengusir
Inggris berdagang di Banten. Sebaliknya Inggris masih dapat bertahan di daerah
Maluku dan menguasai perdagangan di daerah pesisir Sumatera Bagian Barat. Pada
tahun 1786 berhasil menguasai pulau Penang di Selat Malaka sehingga mereka
dapat mengontrol jalan dagang diseluruh pulau Sumatera. Sumatera mulai dibanjri
oleh barang-barang dagang Inggris. Tentu saja hal ini sangat merugikan pihak
Belanda.
Tahun
1780-1784 pecah perang antara Inggris dan Belanda di Eropa. Peperangan ini
merambat pula sampai ke daerah-daerah koloni yang mereka kuasai di seberang
lautan. Pada tahun 1781 Inggris menyerang kedudukan Belanda di Padang dari
pusat kedudukannya di Bengkulu, dan Padang serta benteng Belanda di Pulau
Cingkuak di hancurkan.
Dengan
demikian pusat perdagangan berpindah ke Bengkulu. Setelah terjadi perjanjian
antara kerajaan Belanda dengan kerajaan Inggris maka Inggris terpaksa
mengembalikan seluruh daerah yang sudah direbutnya.
Bangsa
Prancis yang pernah datang ke Sumatera Barat, yaitu ketika bajak laut yang
dipimpin oleh Kapten Le Me dengan anak buahnya mendarat di Pantai Air Manis
Padang. Hal ini terjadi pada tahun 1793. mereka dapat merebut Kota Padang dan
mendudukinya selama lima hari. Setelah mereka merampok kota, mereka pergi lagi.
Pada tahun 1795 Inggris merebut Padang lagi, karena terlibat perang lagi dengan
Belanda.
A.10.
Pembaharuan oleh Agama Islam
Seperti yang telah disebutkan pada bagian terdahulu, bahwa pada pertengahan abad ke tujuh agama Islam sudah mulai memasuki Minangkabau. Namun pada waktu itu perkembangan Islam di Minangkabau masih boleh dikatakan merupakan usaha yang kebetulan saja, karena adanya pedagang-pedagang yang beragama Islam datang ke Minangkabau. Pengaruh Islam pun hanya terbatas pada daerah-daerah yang didatangi oleh pedagang-pedagang Islam, yaitu di sekitar kota-kota dagang di pantai Timur Sumatera.
Seperti yang telah disebutkan pada bagian terdahulu, bahwa pada pertengahan abad ke tujuh agama Islam sudah mulai memasuki Minangkabau. Namun pada waktu itu perkembangan Islam di Minangkabau masih boleh dikatakan merupakan usaha yang kebetulan saja, karena adanya pedagang-pedagang yang beragama Islam datang ke Minangkabau. Pengaruh Islam pun hanya terbatas pada daerah-daerah yang didatangi oleh pedagang-pedagang Islam, yaitu di sekitar kota-kota dagang di pantai Timur Sumatera.
Masuknya
agama Islam itu ada yang secara langsung dibawa oleh pedagang Arab dan ada yang
dibawa oleh Pedagang India atau lainnya, artinya tidak langsung datang dari
negeri Arab. Perkembangan yang demikian berlangsung agak lama juga, karena
terbentur kepentingan perkembangan Politikk Cina dan Agama Budha.
Di kerajaan
Pagaruyung sampai dengan berkuasanya Adityawarman, agama yang dianut adalah
agama Budha sekte Baiwara dan pengaruh agama Budha ini berkisar di sekitar
lingkungan istana raja saja. Tidak ada bukti-bukti yang menyatakan kepada kita
bahwa rakyat Minangkabau juga menganut agama tersebut.
Secara
teratur agama Islam pada akhir abad ke tiga belas yang datang dari Aceh. Pada
waktu itu daerah-daerah pesisir barat pulau Sumatera dikuasai oleh kerajaan
Aceh yang telah menganut agama Islam. Pedagang Islam sambil berdagang sekaligus
mereka langsung menyiarkan agama Islam kepada setiap langganannya. Dari daerah
pesisir ini, yaitu daerah-daerah seperti Tiku, Pariaman, Air Bangis dan
lain-lain dan kemudian masuk daerah perdalaman Minangkabau. Masuknya agama
Islam ke Minangkabau terjadai secara damai dan nampaknya agama Islam lebih
cepat menyesuaikan diri dengan anak nagari. Barangkali itulah sebabnya
bekas-bekas peninggalan Hindu dan Budha tidak banyak kita jumpai di
Minangkabau, karena agama itu tidak sampai masuk ketengah-tengah masyarakat,
tetapi hanya disekitar istana saja. Habis orang-orang istana itu, maka habis
pulalah bekas-bekas pengaruh Hindu dan Budha.
Perkembangan
agama Islam menjadi sangat pesat setelah di Aceh diperintah oleh Sultan Alaudin
Riayat Syah Al Kahar (1537-1568 ), karena Sultan tersebut berhasil meluaskan
wilayahnya hampir ke seluruh pantai barat Sumatera.
Pada
permulaan abad ketujuh belas, seorang ulama dari golongan Sufi penganut Tarikat
Naksabandiyah mengunjungi Pariaman dan Aceh. Kemudian beberapa lama menetap di
Luhuk Agam dan Lima Puluh Kota. Juga dalam ke abad ke-17 itu di Ulakan Pariaman
bermukim seorang ulama Islam yang bernama Syeh Burhanuddin, murid dari Syeh
Abdurauf yang berasal dari Aceh. Syeh Burhanuddin adalah penganut Tarikat
Syatariah.
Murid-murid
Syeh Burhanuddin itulah yang menyebarkan agama Islam di pedalaman Minangkabau
dan mendirikan pusat pengajian di Pamansiangan Luhak Agam. Sebaliknya
ulama-ulama dari Luhak Agam ini pergi memperdalam ilmunya ke Ulakan Pariaman,
yaitu tempat yang dianggap sebagai pusat penyebaran dan penyiaran Islam di
Minangkabau. Dari Luhak Agam inilah nanti lahir ulama-ulama besar yang akan
membangun agama Islam selanjutnya di Minangkabau seperti Tuanku Nan Tuo dari
daerah Cangkiang Batu Taba Ampek Angkek Agam. Tuanku Imam Bonjol sendiri
merupakan salah seorang murid Tuanku Nan Renceh Kamang Mudiak Agam.
Pada awalnya
agama Islam di Minangkabau tidak dijalankan secara ketat, karena disamping
melaksanakan agama Islam para penganut juga masih menjalankan praktek-praktek
adat yang pada dasarnya bertentangan dengan ajaran agama Islam itu sendiri.
Keadaan ini
ternyata kemudian setelah datangnya beberapa orang ulama Islam dari Mekkah yang
menganut paham Wahabi. Yaitu suatu paham dimana penganut-penganutnya
melaksanakan ajaran Islam secara murni. Di tanah Arab sendiri tujuan gerakan
kaum Wahabi adalah utnuk membersihkan Islam dari Anasir-anasir bid’ah. Kaum Wahabi
menganut Mazhab Hambali dan bertujuan kembali kepada pelaksanaan Islam
berdasarkan Qur’an dan Hadist.
Pada waktu
beberapa ulama di Minangkabau, seperti Tuanku Pamansiangan, Tuanku Nan Tuo di
Cangkiang, Tuanku Nan Renceh dan lain-lain juga sudah melihat ketidak beresan
dalam pelaksanaan praktek ajaran Islam di Minagkabau dan ingin melakukan
pembersihan terhadap hal tersebut, tetapi mereka belum menemukan bagaimana
caranya yang baik. Baru pada tahun 1803 dengan kembalinya tiga orang haji dari
Mekkah, yaitu Haji Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piobang, sesudah mereka itu
menceritakan bagaimana yang dilakukan oleh gerakan Wahabi disana (di Makkah).
Untuk
melaksanakan pembersihan terhadap ajaran agama Islam itu Tuanku Nan Renceh
membentuk suatu badan yang dinamakan “Harimau Nan Salapan” terdiri dari delapan
orang tuanku yang terkenal pada waktu itu di Minangkabau. Diakhir tahun 1803
mereka memproklamirkan berdirinya gerakan Paderi dan mulai saat itu mereka
melancarkan gerakan permurnian agama Islam di Minangkabau.
Mula-mula
Paderi memulai gerakan pembersihannya di daerah Luhak Agam yang tidak terlalu
lama telah mereka kuasai, dengan berpusat di Kamang Mudik. Selanjutnya gerakan
Paderi melancarkan kegiatannya ke daerah Lima Puluh Kota dan di daerah ini
mereka mendapat sambutan yang baik dari rakyat Lima Puluh Kota.
Gerakan kaum
paderi baru mendapat perlawanan yang berat dalam usahanya di Luhak Tanah Datar,
karena pada waktu itu Luhak Tanah Datar masih merupakan pusat kerajaan
Pagaruyung yang mempunyai kebiasaan-kebiasaan tertentu secara tradisional.
Tetapi berkat kegigihan para pejuiang paderi akhirnya daerah Luhak Tanah Datar
dapat juga diperbaharui ajaran Islam nya berdasarkan Qur’an dan Hadist,
selanjutnya gerakan kaum paderi mulai meluas ke daerah rantau.
Pada waktu
itu di daerah Pasaman muncul seorang ulama besar yang membawa rakyatnya ke arah
pembaharuan pelaksanaan ajaran Islam sesuai dengan Alquran dan Hadist Nabi.
Karena gerakannya berpusat di Benteng Bonjol maka ulama tersebut akhirnya
terkenal dengan nama Tuanku Imam Bonjol, yang semulanya terkenal dengan nama
Ahmad Sahab Peto Syarif.
Setelah di
daerah Minangkabau dapat diperbaharaui ajaran Islamnya oleh kaum paderi, maka
gerakan selanjutnya menuju keluar daerah Minangkabau, yaitu ke daerah Tapanuli
Selatan yang akhirnya juga dapat dikuasai dan menyebarkan ajaran Islam di sana.
Setelah
Tuanku Nan Renceh meninggal tahun 1820, maka pimpinan gerakan paderi diserahkan
kepada Tuanku Imam Bonjol dan diwaktu itu gerakan paderi sudah dihadapkan
kepada kekuasaan Belanda yang semenjak tahun 1819 sudah menerima kembali daerah
Minangkabau dari tangan Inggris.
Karena
terjadinya perbenturan kedua kekuatan di Minangkabau yaitu antara kekuatan
paderi di satu pihak yang berusaha dengan sekuat tenaga menyebarkan agama Islam
secara murni dengan kekuatan Belanda di lain pihak yang ingin meluaskan
pengaruhnya di Minangkabau maka terjadilah ketegangan antara kedua kekuatan itu
dan akhirnya terjadi perang antara kaum paderi dengan Belanda di Minangkabau.
Perang ini terjadi antara tahun 1821-1833. pada akhirnya rakyat Minangkabau
melihat bahwa kekuatan Belanda tidak hanya ditujukan kepada gerakan kaum paderi
saja, maka pada tahun 1833 rakyat Minangkabau secara keseluruhannya juga
mengangkat senjata melawan pihak Belanda. Perang ini berlangsung sampai tahun
1837.
Tetapi
karena kecurangan dan kelicikan yang dilakukan pihak Belanda akhirnya
peperangan itu dapat dimenangkan Belanda, dalam arti kata semenjak tahun 1837
itu seluruh daerah Minangkabau jatuh ke bawah kekuasaan pemerintah Hindia
Belanda.
Dari masa
inilah Minangkabau di rundung duka yang dalam, karena menjadi anak jajahan
Belanda. Tuanku Imam ditangkap Belanda dengan tipu muslihat, dikatakan untuk
berunding tetapi nyatanya Belanda menangkap beliau, dibuang semula ke Betawi, tinggal
di Kampung Bali, selanjutnya dipindahkan ke Menado. Ditempat yang sangat jauh
dari kampung halaman, badan yang telah sangat tua itu akhirnya dihentikan Tuhan
Dari penderitaan yang berat, berpulanglah seorang Patriot Islam Minangkabau
dirantau orang.
Beliau telah
berjuang sekuat tenaga menegakkan Syiar Islam di Ranah Minangkabau tercinta
ini, jasatnya terbujur disebuah desa kecil yang sepi bernama “Lotak” nun jauh
diujung pulau Selebes, harapannya kepada kita semua anak Minangkabau, lanjutkan
perjuangan beliau dengan menegakkan akidah Islam dalam kehidupan sehari-hari,
jawabnya barangkali yang paling tepat bagi kita sekarang, ” Mari kita
berbenar-benar menegakkan Adat Basandi Syarak-syarak Basandi Kitabullah “
dalam kehidupan kita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar