KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr.Wb
Puji dan syukur penulis panjatkan
kehadirat Allah swt. yang telah memberikan kekuatan dan keteguhan hati kepada
kami untuk menyelesaikan makalah ini. Sholawat beserta salam semoga
senantiasa tercurah limpahan kepada nabi Muhammad saw. yang menjadi tauladan
para umat manusia yang merindukan keindahan syurga.
Kami menulis makalah ini bertujuan untuk mempelajari dan
mengetahui ilmu tentang Sejarah Peradaban
Islam yang diberikan oleh dosen mengenai Dinasti Bani Umayyah. Selain
bertujuan untuk memenuhi tugas, tujuan penulis selanjutnya adalah untuk
mengetahui proses pendirian bani Umayah, pola pemerintahan Bani Umayah, Pola
pemerintahan Umar ibn Abdul Aziz, Ekspansi wilayah, dan Peradaban Islam Pada
masa Dinasti Bni Umayyah.
Dalam penyelesaian makalah ini, penulis banyak mengalami
kesulitan, terutama disebabkan kurangnya ilmu pengtahuan. Namun, berkat
kerjasama yang solid dan kesungguhan dalam menyelesaikan makalah ini, akhirnya
dapat diselesaikan dengan baik.
Kami menyadari, sebagai seorang pelajar yang pengetahuannya tidak seberapa yang
masih perlu belajar dalam penulisan makalah, bahwa makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang
positif demi terciptanya makalah yang lebih baik lagi, serta berdayaguna di
masa yang akan datang.
Besar harapan, mudah-mudahan makalah yang sangat sederhana ini dapat bermanfaat
dan maslahat bagi semua orang.
Wasalamu'alaikum Wr.Wb
..................................................................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Berakhirnya kekuasaan khalifah Ali bin Abi Thalib
mengakibatkan lahirnya kekuasan yang berpola Dinasti atau kerajaan. Pola
kepemimpinan sebelumnya (khalifah Ali) yang masih menerapkan pola keteladanan
Nabi Muhammad, yaitu pemilihan khalifah dengan proses musyawarah akan terasa
berbeda ketika memasuki pola kepemimpinan dinasti-dinasti yang berkembang
sesudahnya.
Bentuk pemerintahan dinasti atau kerajaan yang cenderung
bersifat kekuasaan foedal dan turun temurun, hanya untuk mempertahankan
kekuasaan, adanya unsur otoriter, kekuasaan mutlak, kekerasan, diplomasi yang
dibumbui dengan tipu daya, dan hilangnya keteladanan Nabi untuk musyawarah
dalam menentukan pemimpin merupakan gambaran umum tentang kekuasaan dinasti
sesudah khulafaur rasyidin. Dinasti Umayyah merupakan kerajaan Islam pertama
yang didirikan oleh Muawiyah Ibn Abi Sufyan. Perintisan dinasti ini
dilakukannya dengan cara menolak pembai’atan terhadap khalifah Ali bin Abi
Thalib, kemudian ia memilih berperang dan melakukan perdamaian dengan pihak Ali
dengan strategi politik yang sangat menguntungkan baginya.
Jatuhnya Ali dan naiknya Muawiyah juga disebabkan
keberhasilan pihak khawarij (kelompok yang membangkan dari Ali) membunuh
khalifah Ali, meskipun kemudian tampuk kekuasaan dipegang oleh putranya Hasan,
namun tanpa dukungan yang kuat dan kondisi politik yang kacau akhirnya
kepemimpinannya pun hanya bertahan sampai beberapa bulan. Pada akhirnya Hasan
menyerahkan kepemimpinan kepada Muawiyah, namun dengan perjanjian bahwa
pemmilihan kepemimpinan sesudahnya adalah diserahkan kepada umat Islam.
Perjanjian tersebut dibuat pada tahun 661 M / 41 H dan dikenal dengan am
jama’ah karena perjanjian ini mempersatukan ummat Islam menjadi satu
kepemimpinan, namun secara tidak langsung mengubah pola pemerintahan menjadi
kerajaan.
Meskipun begitu, munculnya Dinasti Umayyah memberikan babak
baru dalam kemajuan peradaban Islam, hal itu dibuktikan dengan
sumbangan-sumbangannya dalam perluasan wilayah, kemajuan pendidikan, kebudayaan
dan lain sebagainya.
B. Rumusan Masalah
Ada pun masalah yang akan dibahas
dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Pendirian Dinasti Bani Umayyah
2. Pola Pemerintahan Dinasti bani
Umayyah
3. Masa Pemerintahan Umar ibn Abdul
Aziz
4. Ekspansi Wilayah Dinasti Bani
Umayyah
5. Peradaban Islam Pada Masa Dinasti
Bani Umayyah
.........................................................................................................................................
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pendirian
Dinasti Bani Umayyah
1.1 Asal
Mula Dinasti Bani Umayyah
Proses terbentuknya kekhalifahan Bani Umayyah dimulai sejak
khalifah Utsman bin Affan tewas terbunuh oleh tikaman pedang Humran bin Sudan
pada tahun 35 H/656 M. Pada saat itu khalifah Utsman bin Affan di anggap
terlalu nepotisme (mementingkan kaum kerabatnya sendiri) dalam menunjuk para
pembantu atau gubernur di wilayah kekuasaan Islam.
Masyarakat Madinah khususnya para shahabat besar seperti
Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Awwam mendatangi shahabat Ali bin Abi
Thalib untuk memintanya menjadi khalifah pengganti Utsman bin Affan. Permintaan
itu di pertimbangkan dengan masak dan pada akhirnya Ali bin Abi Thalib mau
menerima tawaran tersebut. Pernyataan bersedia tersebut membuat para tokoh
besar diatas merasa tenang, dan kemudian mereka dan para shahabat lainnya serta
pendukung Ali bin Abi Thalib melakukan sumpah setia (bai’at) kepada Ali pada
tanggal 17 Juni 656 M/18 Dzulhijah 35 H. Pembai’atan ini mengindikasikan
pengakuan umat terhadap kepemimpinannya. Dengan kata lain, Ali bin Abi Thalib
merupakan orang yang paling layak diangkat menjadi khalifah keempat
menggantikan khalifah Utsman bin Affan.
Pengangkatan Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah keempat
oleh masyarakat madinah dan sekelompok masyarakat pendukung dari Kuffah[2] ternyata
ditentang oleh sekelompok orang yang merasa dirugikan. Misalnya Muwiyah bin Abi
Sufyan gubernur Damaskus, Syiria, dan Marwan bin Hakam yang ketika pada masa
Utsman bin Affan, menjabat sebagai sekretaris khalifah.
Dalam
suatu catatan yang di peroleh dari khalifah Ali adalah bahwa Marwan pergi ke
Syam untuk bertemu dengan Muawiyah
dengan membawa barang bukti berupa jubah khalifah Utsman yang berlumur darah.
Penolakan Muawiyah bin Abi Sufyan dan sekutunya terhadap Ali
bin Abi Thalib menimbulkan konflik yang berkepanjangan antara kedua belah pihak
yang berujung pada pertempuran di Shiffin dan dikenal dengan perang Sifin,
Pertempuran ini terjadi di antara dua kubu yaitu, Muawiyah bin Abu Sufyan
(sepupu dari Usman bin Affan) dan Ali bin Abi Talib di tebing Sungai Furat yang
kini terletak di Syria (Syam) pada 1 Shafar tahun 37 H/657 M [3]. Muawiyah
tidak menginginkan adanya pengangkatan kepemimpinan umat Islam yang baru.
Beberapa saat setelah kematian khalifah Utsman bin Affan,
masyarakat muslim baik yang ada di Madinah , Kuffah, Bashrah dan Mesir telah
mengangkat Ali bin Abi Thalib sebagai
khalifah pengganti Utsman. Kenyataan ini membuat Muawiyah tidah punya pilihan
lain, kecuali harus mengikuti khalifah Ali bin Abi Thalib dan tunduk atas
segala perintahnya. Muawiyah menolak kepemimpinan tersebut juga karena ada
berita bahwa Ali akan mengeluarkan kebijakan baru untuk mengganti seluruh
gubernur yang diangkat Utsman bin Affan.
Muawiyah mengecam
agar tidak mengakui (bai’at) kekuasaan Ali bin Abi Thalib sebelum Ali
berhasil mengungkapkan tragedi terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan, dan
menyerahkan orang yang dicurigai terlibat pembunuhan tersebut untuk dihukum. Khalifah Ali bin Abi
Thalib berjanji akan menyelesaikan masalah pembunuhan itu setelah ia berhasil
menyelesaikan situasi dan kondisi di dalam negeri. Kasus itu tidak melibatkan
sebagian kecil individu, juga melibatkan pihak dari beberapa daerahnya seperti
Kuffah, Bashra dan Mesir.
Permohonan atas penyelesaian kasus terbunuhnya khalifah
Utsman bin Affan ternyata juga datang dari istri Nabi Muhammad saw, yaitu
Aisyah binti Abu Bakar. Siti Aisyah mendapat penjelasan tentang situasi dan
keadaan politik di ibukota Madinah, dari shahabat Thalhah bin Ubaidillah dan
Zubair ketika bertemu di Bashrah. Para shahabat menjadikan Siti Aisyah untuk
bersikap sama, untuk penyelesaian terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan, dengan
alasan situasi dan kondisi tidak memungkinkan di Madinah. Disamping itu,
khalifah Ali bin Abi Thalib tidak menginginkan konflik yang lebih luas dan
lebar lagi.
Akibat dari penanganan kasus terbunuhnya khalifah Utsman bin
Affan, munculah isu bahwa khalifah Ali bin Abi Thalib sengaja mengulur waktu
karena punya kepentingan politis untuk mengeruk keuntungan dari krisis
tersebut. Bahkan Muawiyah menuduh Ali bin Abi Thalib berada di balik kasus
pembunuhan tersebut.
Tuduhan ini tentu saja tuduhan yang tidak benar, karena
justru pada saat itu Sayidina Ali dan kedua putranya Hasan dan Husein serta
para shahabat yang lain berusaha dengan sekuat tenaga untuk menjaga dan
melindungi khalifah Utsman bin Affan dari serbuan massa yang mendatangi
kediaman khalifah.
Sejarah mencatat justru keadaan yang patut di curigai adalah
peran dari kalangan pembesar istana yang berasal dari keluarga Utsman dan Bani
Umayyah. Pada peristiwa ini tidak terjadi seorangpun di antara mereka berada di
dekat khalifah Utsman bin Affan dan mencoba memberikan bantuan menyelesaikan
masalah yang dihadapi khalifah.
Dalam menjalankan roda pemerintahannya, kalifah Utsman bin
Affan banyak menunjuk para gubernur di daerah yang berasal dari kaum kerabatnya
sendiri. Salah satu gubernur yang ia tunjuk adalah gubernur Mesir, Abdullah
Sa’ad bin Abi Sarah. Gubernur Mesir ini di anggap tidak adil dan berlaku
sewenang-wenang terhadap masyarakat Mesir. Ketidak puasan ini menyebabkan kemarahan
di kalangan masyarakat sehingga mereka menuntut agar Gubernur Abdullah bin
Sa’ad segera di ganti. Kemarahan para pemberontak ini semakin bertambah setelah
tertangkapnya seorang utusan istana yang membawa surat resmi dari khalifah yang
berisi perintah kepada Abdullah bin Sa’ad sebagai gubernur Mesir untuk membunuh
Muhammad bin Abu Bakar. Atas permintaan masyarakat Mesir, Muhammad bin Abu
Bakar diangkat untuk menggantikan posisi gubernur Abdulah bin Sa’ad yang juga
sepupu dari khalifah Utsman bin Affan.
Tertangkapnya utusan pembawa surat resmi ini menyebabkan
mereka menuduh khalifah Utsman bin Affan melakukan kebajikan yang mengancam
nyawa para shahabat. Umat Islam Mesir melakukan protes dan demonstrasi secara
massal menuju rumah khalifah Utsman bin Affan. Mereka juga tidak menyenangi
atas sistem pemerintahan yang sangat sarat dengan kolusi dan nepotisme. Keadaan
ini menyebabkan mereka bertambah marah dan segera menuntut khalifah Utsman bin
Affan untuk segera meletakkan jabatan.
Persoalan-persoalan yang dihadapi oleh khalifah Utsman bin Affan semakin rumit dan kompleks,
sehingga tidak mudah untuk di selesaikan secepatnya. Massa yang mengamuk saat
itu tidak dapat menahan emosi dan langsung menyerbu masuk kedalam rumah
khalifah, sehingga khalifah Utsman terbunuh dengan sangat mengenaskan.
Ada beberapa gubernur yang diganti semasa kepemimpinan
khalifah Ali, antara lain Muawiyah bin Abi Sufyan sebagai gubernur Syam yang
diganti dengan Sahal bin Hunaif. Pengiriman gubernur baru ini di tolak Muawiyah
bin Abi Sufyan serta masyarakat Syam. Pendapat khalifah Ali bin Abi Thalib
tentang pergantian dan pemecatan gubernur ini berdasarkan pengamatan bahwa
segala kerusuhan dan kekacauan yang terjadi selama ini di sebabkan karena ulah
Muawiyah dan gubernur-gubernur lainnya yang bertindak sewenang-wenang dalam
menjalankan pemerintahannya. Begitu juga pada saat peristiwa terbunuhnya
khalifah Utsman bin Affan disebabkan karena kelalaian mereka.
1.2 Usaha Untuk Memperoleh Kekuasaan
Wafatnya khalifah Ali bin Abi Thalib pada tanggal 21
Ramadhan tahun 40 H/661 M, karena
terbunuh oleh tusukan pedang beracun saat sedang beribadah di masjid Kufah,
oleh kelompok khawarij [5] yaitu
Abdurrahman bin Muljam, menimbulkan dampak politis yang cukup berat bagi
kekuatan umat Islam khususnya para pengikut setia Ali (Syi’ah). Oleh karena
itu, tidak lama berselang umat Islam dan para pengikut Ali bin Abi Thalib
melakukan sumpah setia (bai’at) atas diri Hasan bin Ali untuk di angkat menjadi
khalifah pengganti Ali bin Abi Thalib.
Proses penggugatan itu dilakukan dihadapan banyak orang.
Mereka yang melakukan sumpah setia ini (bai’at) ada sekitar 40.000 orang jumlah
yang tidak sedikit untuk ukuran pada saat itu. Orang yang pertama kali
mengangkat sumpah setia adalah Qays bin Sa’ad, kemudian diikuti oleh umat Islam
pendukung setia Ali bin Abi Thalib.
Pengangkatan Hasan bin Ali di hadapan orang banyak tersebut
ternyata tetap saja tidak mendapat pengangkatan dari Muawiyah bin Abi Sufyan
dan para pendukungnya. Dimana pada saat itu Muawiyyah yang menjabat sebagai
gubernur Damaskus juga menobatkan dirinya sebagai khalifah. Hal ini disebabkan
karena Muawiyah sendiri sudah sejak lama mempunyai ambisi untuk menduduki
jabatan tertinggi dalam dunia Islam.
Namun Al-Hasan sosok yang jujur dan lemah secara politik. Ia sama sekali
tidak ambisius untuk menjadi pemimpin negara. Ia lebih memilih mementingkan
persatuan umat. Hal ini dimanfaatkan oleh muawiyah untuk mempengaruhi massa
untuk tidak melakukan bai’at terhadap hasan Bin ali. Sehingga banyak terjadi
permasalahan politik, termasuk pemberontakan – pemberontakan yang didalangi
oleh Muawiyah bin Abi Sufyan. Oleh karena itu, ia melakukan kesepakatan damai
dengan kelompok Muawiyah dan menyerahkan kekuasaannya kepada Muawiyah pada
bulan Rabiul Awwal tahun 41 H/661. Tahun kesepakatan damai antara Hasan dan
Muawiyah disebut Aam Jama’ah karena kaum muslimn sepakat untuk memilih
satu pemimpin saja, yaitu Muawiyah ibn Abu Sufyan.
Menghadapi situasi yang demikian kacau dan untuk
menyelesaikan persoalan tersebut, khalifah Hasan bin Ali tidak mempunyai
pilihan lain kecuali perundingan dengan pihak Muawiyah. Untuk itu maka di kirimkan surat melalui Amr bin
Salmah Al-Arhabi yang berisi pesan perdamaian.
Dalam perundingan ini Hasan bin Ali mengajukan syarat bahwa
dia bersedia menyerahkan kekuasaan pada Muawiyah dengan syarat antaralain:
- Muawiyah menyerahkan harat Baitulmal kepadanya untuk melunasi hutang-hutangnya kepada pihak lain.
- Muawiyah tak lagi melakukan cacian dan hinaan terhadap khalifah Ali bin Abi Thalib beserta keluarganya.
- Muawiyah menyerahkan pajak bumi dari Persia dan daerah dari Bijinad kepada Hasan setiap tahun.
- Setelah Muawiyah berkuasa nanti, maka masalah kepemimpinan (kekhalifahan) harus diserahkan kepada umat Islam untuk melakukan pemilihan kembali pemimpin umat Islam.
- Muawiyah tidak boleh menarik sesuatupun dari penduduk Madinah, Hijaz, dan Irak. Karena hal itu telah menjadi kebijakan khalifah Ali bin Abi Thalib sebelumnya.
Untuk memenuhi semua persyaratan, Hasan bin Ali mengutus
seorang shahabatnya bernama Abdullah bin Al-Harits bin Nauval untuk
menyampaikan isi tuntutannya kepada Muawiyah. Sementara Muawiyah sendiri untuk
menjawab dan mengabulkan semua syarat yang di ajukan oleh Hasan mengutus
orang-orang kepercayaannya seperti
Abdullah bin Amir bin Habib bin Abdi Syama.
Setelah kesepakatan damai ini, Muawiyah mengirmkan sebuah
surat dan kertas kosong yang dibubuhi tanda tanggannya untuk diisi oleh Hasan.
Dalam surat itu ia menulis “Aku mengakui bahwa karena hubungan darah, Anda
lebih berhak menduduki jabatan kholifah. Dan sekiranya aku yakin kemampuan Anda
lebih besar untuk melaksanakan tugas-tugas kekhalifahan, aku tidak akan ragu
berikrar setia kepadamu.”
Itulah salah satu kehebatan Muawiyah dalam berdiplomasi.
Tutur katanya begitu halus, hegemonik dan seolah-olah bijak. Surat ini salah
satu bentuk diplomasinya untuk melegitimasi kekuasaanya dari tangan pemimpin
sebelumnya.
Penyerahan kekuasaan pemerintahan Islam dari Hasan ke
Muawiyah ini menjadi tonggak formal berdirinya kelahiran Dinasti Umayyah di
bawah pimpinan khalifah pertama, Muawiyah ibn Abu Sufyan.
Proses penyerahan dari Hasan bin Ali kepada Muawiyah bin Abi
Sufyan dilakukan di suatu tempat yang bernama Maskin dengan ditandai
pengangkatan sumpah setia. Dengan demikian, ia telah berhasil meraih cita-cita
untuk menjadi seorang pemimpin umat Islam menggantikan posisi dari Hasan bin
Ali sebagai khalifah.
Meskipun Muawiyah tidak mendapatkan pengakuan secara resmi
dari warga kota Bashrah, usaha ini tidak henti-hentinya dilakukan oleh Muawiyah
sampai akhirnya secara defacto dan dejure jabatan tertinggi umat Islam berada
di tangan Muawiyah bin Abi Sufyan.
Dengan demikian berdirilah dinasti baru yaitu Dinasti Bani
Umayyah (661-750 M) yang mengubah gaya kepemimpinannya dengan cara meniru gaya
kepemimpinan raja-raja Persia dan Romawi berupa peralihan kekuasaan kepada
anak-anaknya secara turun temurun. Keadaan ini yang menandai berakhirnya sistem
pemerintahan khalifah yang didasari asas “demokrasi” untuk menentukan pemimpin
umat Islam yang menjadi pilihan mereka. Pada masa kekuasaan Bani umayyah
ibukota Negara dipindahkan muawiyah dari Madinah ke Damaskus, tempat Ia
berkuasa Sebagai gubernur Sebelumnya.
Namun perlawanan terhadap bani Umayyah tetap terjadi,
perlawanan ini dimulai oleh Husein ibn Ali, Putra kedua Khalifah Ali bin Abi
Thalib. Husein menolak melakukan bai’at kepada Yazid bin Muawiyah sebagai
khalifah ketika yazid naik tahta. Pada tahun 680 M, ia pindah dari Mekah ke
Kufah atas permintaan golongan syi’ahyang ada di Irak. Umat islam Di daerah ini
tidak mrngakui Yazid. Mereka Mengangkat Husein sebagai Khalifah. Dalam
pertempuran yang tidak seimbang di Karbela, sebuah daerah di dekat Kufah,
tentara Husein kalah dan Husein sendiri mati terbunuh. Kepalanya dipengal dan
dikirim ke damaskus, sedang tubuhnya dikubur di Karbela.
B. Pola
Pemerintahan Dinasti Bani Umayyah
Aku tidak akan menggunakan pedang ketika cukup mengunakan
cambuk, dan tidak akan mengunakan cambuk jika cukup dengan lisan. Sekiranya ada
ikatan setipis rambut sekalipun antara aku dan sahabatku, maka aku tidak akan
membiarkannya lepas. Saat mereka menariknya dengan keras, aku akan
melonggarkannya, dan ketika mereka mengendorkannya, aku akan menariknya dengan
keras. (Muawiyah ibn Abi Sufyan).
Pernyataan di atas cukup mewakili sosok Muawiyah ibn Abi
Sufyan. Ia cerdas dan cerdik. Ia seorang politisi ulung dan seorang negarawan
yang mampu membangun peradaban besar
melalui politik kekuasaannya. Ia pendiri sebuah dinasti besar yang mampu
bertahan selama hampir satu abad. Dia lah pendiri Dinasti Umayyah, seorang
pemimpin yang paling berpengaruh pada abad ke 7 H.
Di tangannya, seni berpolitik mengalami kemajuan luar biasa
melebihi tokoh-tokoh muslim lainnya. Baginya, politik adalah senjata maha
dahsyat untuk mencapai ambisi kekuasaaanya. Ia wujudkan seni berpolitiknya
dengan membangun Dinasti Umayyah.
Gaya dan corak kepemimpinan pemerintahan Bani Umayyah (41
H/661 M) berbeda dengan kepemimpinan masa-masa sebelumnya yaitu masa
pemerintahan Khulafaur Rasyidin. Pada masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin
dipilih secara demokratis dengan kepemimpinan kharismatik yang demokratis
sementara para penguasa Bani Umayyah diangkat secara langsung oleh penguasa
sebelumnya dengan menggunakan sistem Monarchi Heredities, yaitu kepemimpinan
yang di wariskan secara turun temurun. Kekhalifahan Muawiyyah diperoleh melalui
kekerasan, diplomasi dan tipu daya, tidak dengan pemilihan atau suara
terbanyak. Suksesi kepemimpinan secara turun temurun dimulai ketika Muawiyyah
mewajibkan seluruh rakyatnya untuk menyatakan setia terhadap anaknya, Yazid.
Muawiyah bermaksud mencontoh Monarchi di Persia dan Binzantium. Dia memang
tetap menggunakan istilah Khalifah, namun dia memberikan interprestasi baru
dari kata-kata itu untuk mengagungkan jabatan tersebut.
Dia menyebutnya “Khalifah Allah” dalam pengertian “Penguasa” yang di angkat
oleh Allah.
Karena proses berdirinya pemerintahan Bani Umayyah tidak
dilakukan secara demokratis dimana pemimpinnya dipilih melalui musyawarah,
melainkan dengan cara-cara yang tidak baik dengan mengambil alih kekuasaan dari
tangan Hasan bin Ali (41 H/661M) akibatnya, terjadi beberapa perubahan prinsip
dan berkembangnya corak baru yang sangat mempengaruhi kekuasaan dan
perkembangan umat Islam. Diantaranya pemilihan khalifah dilakukan berdasarkan
menunjuk langsung oleh khalifah sebelumnya dengan cara mengangkat seorang putra
mahkota yang menjadi khalifah berikutnya.
Orang yang pertama kali menunjuk putra mahkota adalah
Muawiyah bin Abi Sufyan dengan mengangkat Yazib bin Muawiyah. Sejak Muawiyah
bin Abi Sufyan berkuasa (661 M-681 M), para penguasa Bani Umayyah menunjuk
penggantinya yang akan menggantikan kedudukannya kelak, hal ini terjadi karena
Muawiyah sendiri yang mempelopori proses dan sistem kerajaan dengan menunjuk
Yazid sebagai putra mahkota yang akan menggantikan kedudukannya kelak.
Penunjukan ini dilakukan Muawiyah atas saran Al-Mukhiran bin Sukan, agar
terhindar dari pergolakan dan konflik politik
intern umat Islam seperti yang pernah terjadi pada masa-masa sebelumnya.
Sejak saat itu, sistem pemerintahan Dinasti Bani Umayyah
telah meninggalkan tradisi musyawarah untuk memilih pemimpin umat Islam. Untuk
mendapatkan pengesahan, para penguasa Dinasti Bani Umayyah kemudian
memerintahkan para pemuka agama untuk melakukan sumpah setia (bai’at) dihadapan
sang khalifah. Padahal, sistem pengangkatan para penguasa seperti ini
bertentangan dengan prinsip dasar demokrasi dan ajaran permusyawaratan Islam
yang dilakukan Khulafaur Rasyidin.
Selain terjadi perubahan dalm sistem pemerintahan, pada masa
pemerintahan Bani Umayyah juga terdapat perubahan lain misalnya masalah
Baitulmal. Pada masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin, Baitulmal berfungsi
sebagai harta kekayaan rakyat, dimana setiap warga Negara memiliki hak yang
sama terhadap harta tersebut. Akan tetapi sejak pemerintahan Muawiyah bin Abi
Sufyan, Baitulmal beralih kedudukannya menjadi harta kekayaan keluarga raja
seluruh penguasa Dinasti Bani Umayyah kecuali Umar bin Abdul Aziz (717-729 M).
Berikut nama-nama ke 14 khalifah Dinasti Bani Umayyah yang berkuasa:
- Muawiyah bin Abi Sufyan (41-60 H/661-680 M)
- Yazid bin Muawiyah (60-64 M/680-683 M)
- Muawiyah bin Yazid (64-64 H/683-683 M)
- Marwan bin Hakam (64-65 H/683-685 M)
- Abdul Malik bin Marwan (65-86 H/685-705 M)
- Walid bin Abdul Malik (86-96 H/705-715 M)
- Sulaiman bin Abdul Malik (96-99 H/715-717 M)
- Umar bin Abdul Aziz (99-101 H/717-720 M)
- Yazid bin Abdul Malik (101-105 H/720-724)
- Hisyam bin Abdul Malik (105-125 H/724-743 M)
- Walid bin Yazid (125-126 H/743-744 M)
- Yazid bin Walid (126-127 H/744-745 M)
- Ibrahim bin Walid (127-127 H/745-745 M)
- Marwan bin Muhammad (127-132 H/745-750 M)
C. Masa
Pemerintahan Umar ibn Abdul Aziz
Umar ibn Abdul Aziz adalah putra saudara Sulayman, yaitu
Abdul Aziz. Umar pantas diberi gelar khalifah kelima khulafaur rasyidin karena
kesholihan dan kemulyaannya. Sebelum ia diangkat menjadi khalifah Dinasti
Umayyah kedelapan, ia seorang yang kaya raya dan hidup dalam kemegahan. Ia suka
berpoya-poya dan menghambur-hamburkan uang. Namun setelah diangkat menjadi
khalifah, ia berubah total menjadi seorang raja yang sangat sederhana, adil dan
jujur. Karena
kesholihannya, ia dianggap sebagai seorang sufistik pada jamannya. Ia juga
disebut sebagai pembaharu islam abad kedua hijriyah.
Walaupun masa pemerintahnnya relatif singkat, yaitu sekitar
tiga tahunan, namun banyak perubahan yang ia lakukan. Diantaranya, ia melakukan
komunikasi politik dengan semua kalangan, termasuk kaum Syiah sekalipun. Ini
tidak dilakukan oleh saudara-saudaranya sesama raja dinasti Umayyah. Ia banyak
menghidupkan tanah-tanah yang tidak produktif, membangun sumur-sumur dan
masjid-masjid. Yang tidak kalah pentingnya, ia juga melakukan reformasi sistem
zakat dan sodaqoh, sehingga pada jamannya tidak ada lagi kemiskinan.
Pada masa pemerintahnnya, tidak ada perluasan daerah yang
berarti. Menurutnya, ekspansi islam tidak harus dilakukan dengan cara
imprealisme militer, tapi dengan cara dakwah. Dia juga memberi kebebasan kepada
penganut agama lain sesuai dengan keyakinan dan kepercayaannya. Pajak
diperingan,kedudukan mawali
disejajarkan dengan muslim Arab.
Umar mangkat dari jabatannya pada tahun 101 H/719 M dengan
meninggalkan karakter pemerintahan yang adil dan bijaksana terhadap semua
golongan dan agama. Penerusnya nanti justru berbanding terbalik dengan karakter
kepemimpinannya.
D. Ekspansi
Wilayah Dinasti Bani Umayyah
Ekspansi yang terhenti pada masa khalifah Usman dan Ali,
dilanjutkan kembali oleh dinasti ini. Di zaman Muawiyah,Tuniasia dapat
ditaklukan. Disebelah timur, Muawiyah dapat menguasai daerah Khurasan sampai ke
sungai oxus dan Afghanistan sampai ke Kabul. Angkatan lautnya melakukan
serangan-serangan ke Ibukota Binzantium, Konstantinopel.ekspansi ke timur yang
dilakukan Muawiyah kemudian dilanjutkan oleh khalifah Abd al-Malik. Ia mengirim
tentara menyebrangi sungai Oxus dan dapat berhasil menundukkan Balkh, Bukhara,
Khawarizm, Ferghana dan Markhand. Tentaranya bahkan sampai ke India dan dapat
menguasai Balukhistan, Sind dan daerah Punjab sampai ke Maltan.
Ekspansi ke barat secara besar-besaran dilanjutkan di zaman
Walid ibn Abdul Malik. Masa pemerintahan Walid adalah masa ketentraman,
kemakmuran, dan ketertiban. Umat Islam mersa hidup bahagia. Pada masa
pemerintahannya yang berjalan kurang lebih sepuluh tahun itu tercatat suatu
ekspedisi militer dari Afrika Utara menuju wilayah barat daya, benua Eropa,
yaitu pada tahun 711 M. setelah al-Jajair dan Marokko dapat ditaklukan, Tariq
bin ziyad, pemimpin pasukan Islam,menyeberangi selat yang memisahkan antara Marokko
dengan benua Eropa, dan mendapat di suatu tempat yang sekarang dikenal dengan
nama Gibraltar (Jabal Tariq). Tentara Spanyol dapat ditaklukkan. Dengan
demikian Spanyol menjadi sasaran ekspansi selanjutnya. Ibu kota Spanyol,
Kordova, dengan cepat dikuasai. Menyusul kota-kota lain seperti Seville, Elvira
dan Toledo yang dijadikan ibu kota Spanyol yang baru setelah jatuhnya Kordova. Pada saat itu, pasukan Islam
memperoleh kemenangan dengan mudah karena mendapat dukungan dari rakyat
setempat yang sejak lama menderita akibat kekejaman penguasa. Di zaman Umar bin
Abdul Aziz, serangan dilakukan ke Prancis melalui pegunungan Piranee. Serangan
ini dipimpin oleh Abdurahman ibn Abdullah al-Ghafiqi. Ia mulai menyerang
Bordeau, Poitiers. Dari sana ia menyerang Tours. Namun dalam peperangan di luar
kota Tours, al-Qhafii terbunuh, dan tentaranya mundur kembali ke Spanyol.
Disamping daerah-daerah tersebut pulau-pulau yang terdapat di Laut Tengah juga
jatuh ke tangan Islam di zaman Bani Umayyah.
Dengan keberhasilan ekspansi ke beberapa daerah baik di
Timur maupun Barat, wilayah kekuasaan Islam masa Bani Umayyah sangat luas.
Daerah-daerah tersrebut meliputi: Spanyol, Afrika Utara, Syria, Palestina,
jazirah Arabia, Irak, sebagian Asia Kecil, Persia, Afganistan, daerah yang
sekarang disebut Pakistan, Purkmenia, Uzbek dan Kirgis di Asia Tengah
(Nasution, 1985:62).
E. Peradaban
Islam Pada Masa Dinasti Bani Umayyah
Dinasti Umayyah telah mampu membentuk perdaban yang
kontemporer dimasanya, baik dalam tatanan sosial, politik, ekonomi dan
teknologi. Berikut Prestasi bagi peradaban Islam dimasa kekuasaan Bani Umayah
didalam pembangunan berbagai bidang antara lain:
·
Masa kepemimpinan Muawiyah telah mendirikan
dinas pos dan tempat-tempat dengan menyediakan kuda yang lengkap dengan
peralatannya di sepanjang jalan.
·
Menertibkan angkatan bersenjata.
·
Pencetakan mata uang oleh Abdul Malik, mengubah
mata uang Byzantium dengan Persia yang dipakai di daerah-daerah yang dikuasai
Islam. Mencetak mata uang sendiri tahun 659 M dengan memakai kata dan tulisan
Arab.
·
Jabatan khusus bagi seorang Hakim ( Qodli)
menjadi profesi sendiri .
·
Keberhasilan kholifah Abdul Malik melakukan
pembenahan-pembenahan administrasi pemerintahan Islam dan memberlakukan bahasa
Arab sebagai bahasa resmi administrasi pemerintahan Islam. Keberhasilannya
diikuti oleh putranya Al-Walid Ibnu Abdul Malik (705 – 719 M) yang berkemauan
keras dan berkemampuan melaksanakan pembangunan.
·
Membangun panti-panti untuk orang cacat. Dan
semua personil yang terlibat dalam kegiatan humanis di gaji tetap oleh Negara.
·
Membangun jalan-jalan raya yang menghubungkan
suatu daerah dengan daerah lainnya.
·
Membangun pabrik-pabrik, gedung-gedung
pemerintahan, dan masjid-masjid yang megah.
· Hadirnya Ilmu Bahasa Arab, Nahwu, Sharaf,
Balaghah, bayan, badi’, Isti’arah dan sebagainya. Kelahiran ilmu tersebut
karena adanya kepentingan orang-orang Luar Arab (Ajam) dalam rangka memahami
sumber-sumber Islam (Al-qur’an dan Al-sunnah).
· Pengembangan di ilmu-ilmu agama, karena dirasa
penting bagi penduduk luar jazirah Arab yang sangat memerlukan berbagai
penjelasan secara sistematis ataupun secara kronologis tentang Islam. Diantara
ilmu-ilmu yang berkembang yakni tafsir, hadis, fiqih, Ushul fiqih, Ilmu Kalam
dan Sirah/Tarikh.
................................................................................................................................................
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari penjelasan–penjelasan yang telah disebutkan, maka dapat
kita ambil beberapa kesimpulan. Proses terbentuknya kekhalifahan Bani Umayyah
dimulai sejak khalifah Utsman bin Affan tewas terbunuh oleh tikaman pedang
Humran bin Sudan pada tahun 35 H/656 M. Pada saat itu khalifah Utsman bin Affan
di anggap terlalu nepotisme (mementingkan kaum kerabatnya sendiri). Setelah
wafatnya Utsman bin Afan maka masyarakat Madinah mengangkat sahabat Ali bin Abi
Thalib sebagai khalifah yang baru. Dan masyrakat melakukan sumpah setia (
bai’at ) terhadap Ali pada tanggal 17 Juni 656 M / 18 Djulhijah 35 H.
Dinasti umayyah diambil dari nama Umayyah Ibn ‘Abdi Syams
Ibn ‘Abdi Manaf, Dinasti ini sebenarnya mulai dirintis semenjak masa
kepemimpinan khalifah Utsman bin Affan namun baru kemudian berhasil
dideklarasikan dan mendapatkan pengakuan kedaulatan oleh seluruh rakyat setelah
khalifah Ali terbunuh dan Hasan ibn Ali yang diangkat oleh kaum muslimin di
Irak menyerahkan kekuasaanya pada Muawiyah setelah melakukan perundingan dan
perjanjian. Bersatunya ummat muslim dalam satu kepemimpinan pada masa itu
disebut dengan tahun jama’ah (‘Am al Jama’ah) tahun 41 H (661 M).
Sistem pemerintahan Dinasti Bani Umayyah diadopsi dari
kerangka pemerintahan Persia dan Bizantium, dimana ia menghapus sistem
tradisional yang cenderung pada kesukuan. Pemilihan khalifah dilakukan dengan
sistem turun temurun atau kerajaan, hal ini dimulai oleh Umayyah ketika
menunjuk anaknya Yazid untuk meneruskan pemerintahan yang dipimpinnya pada
tahun 679 M.
Pada masa kekuasannya yang hampir satu abad, dinasti ini
mencapai banyak kemajuan. Dintaranya adalah: kekuasaan territorial yang
mencapai wilayah Afrika Utara, India, dan benua Eropa, pemisahan kekuasaan,
pembagian wilayah kedalam 10 provinsi, kemajuan bidang administrasi
pemerintahan dengan pembentukan dewan-dewan, organisasi keuangan dan percetakan
uang, kemajuan militer yang terdiri dari angkatan darat dan angkatan laut,
organisasi kehakiman, bidang sosial dan budaya, bidang seni dan sastra, bidang
seni rupa, bidang arsitektur, dan dalam bidang pendidikan.
Kemunduran dan kehancuran Dinasti Bani Umayyah disebabkan
oleh banyak faktor, dinataranya adalah: perebutan kekuasaan antara keluarga
kerajaan, konflik berkepanjagan dengan golongan oposisi Syi’ah dan Khawarij,
pertentangan etnis suku Arab Utara dan suku Arab Selatan, ketidak cakapan para
khalifah dalam memimpin pemerintahan dan kecenderungan mereka yang hidup mewah,
penggulingan oleh Bani Abbas yang didukung penuh oleh Bani Hasyim, kaum Syi’ah,
dan golongan Mawali.
B. SARAN
Demikianlah isi dari makalah kami, yang menurut kami telah kami susun secara sistematis agar
pembaca mudah untuk memahaminya. Berbicara mengenai sejarah, maka sejarah
merupakan ilmu yang tidak akan pernah ada habisnya. Ingatlah, orang yang cerdas
adalah orang yang belajar dari sejarah.
Sering kali kita lupa bahwa “meskipun” berkisah mengenai
masa lampau, tapi sejarah begitu penting bagi perjalanan suatu bangsa. Melalui
sejarah, kita belajar untuk menghargai perjuangan para pendahulu kita, belajar
menghargai tetes darah dan keringat mereka untuk apa yang kita nikmati saat
ini. Lewat sejarah kita juga belajar dari pengalaman masa lalu, dan menjadikannya
sebagai modal berharga untuk melangkah di masa depan
Islam merupakan agama yang besar dengan perjalanan sejarah
yang panjang. maka dari itu, marilah kita menggali lebih jauh lagi ilmu-ilmu
yang berkaitan dengan sejarah Islamiah. Demi menguatkan keteguhan dan rasa
kebanggaan hati kita terhadap agama Islam yang kita peluk ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar