Pelanggaran Kode Etik Jurnalistik
Kode
etik adalah siatem norma, nilai, aturan, yang secara tegas menyatakan mana hal
yang benar dang mana yang salah. Serta menyatakan perbuatan mana yang harus
dilakukan dan yang harus dihindari.
Tujuan
kode etik sendiri adalah :
- Untuk menjunjung tinggi martabat profesi,
- Untuk memelihara dan menjaga kesejahteraan para anggota,
- Untuk meningkatkan pengabdian para anggota,
- Untuk meningkatkan mutu profesi,
- Mempunyai organisasi professional yang kuat dan terjalin erat.
Pers
memang selayaknya tunduk pada aturan – aturan yang ada,tapi pers pun tidak
sesempurna itu. Ada – ada saja hal yang menyebabkan adanya pelanggaran aturan
tersebut. Berikut adalah contoh pelanggaran kode etik jurnalistik :
1.Sumber
rekayasa : Sumber peliputan dalam berita haruslah jelas dan tidak boleh
fiktif atau hanya rekayasa semata.
2.
Memuat identitas korban asusila : Untuk menjaga nama baik korban maupun
keluarga si korban, pers harusnya tidak mencantumkan identitas si korban, tanpa
seizin dari korban maupun keluarganya.
3.
Sumber berita tidak jelas : Dalam liputan pers, sumber beruta harus lah
jelas, dan tidak simpang siur agar tidak menimbulkan pertanyaan publik.
4.
Wawancara fiktif : Demi menunjukan kehebatan, terkadang mengada –
ada hasil wawancara yang tidak pernah dilakukan.
CONTOH PELANGGARAN KODE ETIK PERS
Posted on Februari 7, 2011 by meisikalesaran
Pada bab ini, penulis akan menjabarkan
beberapa pelanggaran terhadap Kode Etik Jurnalistik yang dilakukan oleh
jurnalis di Indonesia.
1.
Pemberitaan
kasus Antasari yang melibatkan wanita bernama Rani oleh TV One
Menurut Penasehat Persatuan Wartawan
Indonesia (PWI) Pusat Tribuana Said, Selasa, saat diskusi Bedah Kasus Kode Etik
Jurnalistik di Gedung Dewan Pers, indikasi pelanggaran tersebut dapat dilihat
dari pemberitaan yang kurang berimbang karena hanya menggunakan pernyataan dari
pihak kepolisian saja.
Selain itu, Tribuana menambahkan, narasumber yang dipakai hanya narasumber sekunder saja, misalnya keluarga Rani dan tetangga Rani, bukan dari narasumber utama.
Selain itu, Tribuana menambahkan, narasumber yang dipakai hanya narasumber sekunder saja, misalnya keluarga Rani dan tetangga Rani, bukan dari narasumber utama.
Pasal yang dilanggar oleh divisi berita TV
One dalam menyiarkan pemberitaan Antasari – Rani adalah Pasal 3: Wartawan
Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak
mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak
bersalah. Dalam kasus di atas, wartawan TV One hanya menggunakan pernyataan
dari pihak kepolisian, tidak menggunakan data dari narasumber utama yaitu
Antasari atau Rani.
2. Kasus wawancara fiktif terjadi di
Surabaya. Seorang wartawan harian di Surabaya menurunkan berita hasil
wawancaranya dengan seorang isteri Nurdin M Top. Untuk meyakinkan kepada
publiknya, sang wartawan sampai mendeskripsikan bagaimana wawancara itu
terjadi. Karena berasal dari sumber yang katanya terpercaya, hasil wawancara
tersebut tentu saja menjadi perhatian masyarakat luas. Tetapi, belakangan
terungkap, ternyata wawancara tersebut palsu alias fiktif karena tidak pernah
dilakukan sama sekali. Isteri Nurdin M Top kala itu sedang sakit tenggorokkan
sehingga untuk berbicara saja sulit, apalagi memberikan keterangan panjang
lebar seperti laporan wawancara tersebut. Wartawan dari harian ini memang tidak
pernah bersua dengan isteri orang yang disangka teroris itu dan tidak pernah
ada wawancara sama sekali.
Wartawan dalam kasus di atas melanggar Kode
Etik Jurnalistik Pasal 2 dan Pasal 4. Pasal 2 bernunyi: Wartawan Indonesia
menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik. Pasal
4 berbunyi: Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan
cabul. Wartawan tersebut tidak menggunakan cara yang professional dalam
menjalankan tugasnya. Ia tidak menyebarkan berita yang faktual dan tidak
menggunakan narasumber yang jelas, bahkan narasumber yang digunakan dalah
narasumber fiktif. Wawancara dan berita yang dipublikasikannya merupakan
kebohongan. Tentu ini merugikan konsumen media. Pembaca mengkonsumsi media
untuk memperoleh kebenaran, bukan kebohongan. Kredibilitas harian tempat
wartawan tersebut bekerja juga sudah tentu menjadi diragukan.
3. Kasus bentrok saptol PP dengan warga
memperebutkan makam Mbah Priok belum usai. Banyak hal bisa dilihat dari kasus
ini, di antaranya soal bagaimana televisi menyiarkan kasus ini. Saat terjadi
bentrok, banyak televisi menyiarkan secara langsung. Adegan berdarah itupun
bisa disaksikan dengan telanjang mata tanpa melalui proses editing.Penyiaran
langsung gambar korban bentrokan di Koja, Tanjung Priok, merupakan pelanggaran
Kode Etik Jurnalistik Pasal 4: Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong,
fitnah, sadis, dan cabul.
Gambar korban berdarah-darah dikategorikan
sebagai berita sadis, dan tidak semua konsumen media dapat menerimanya. Pihak
keluarga korban yang kebetulan sedang menonton televise pun bisa menerima
dampak psikologis atau traumatis jika melihat kerabatnya mengalami luka yang
mengenaskan.
4. Selain kasus bentrokan di Koja,
pemberitaan lain yang memuat gambar sadis dan melanggar Pasal 4 Kode Etik
Jurnalistik adalah pemberitaan tentang ledakan bom di Hotel Ritz-Carlton dan JW
Mariott, Kuningan, bulan Juli tahun lalu. Pada siaran langsung suasana tenpat
kejadian beberapa saat setelah bom meledak, Metro TV memuat gambar Tim Mackay,
Presiden Direktur PT Holcim Indonesia, yang berdarah-darah dan tampak tidak
beradaya, di jalanan. Penanyangan gambar tersebut tentu tidak sesuai dengan
Kode Etik Jurnalisitk dan dapat menimbulkan dampak traumatis bagi penonton yang
melihat.
Pelanggaran Kode Etik Pers
1. Pemberitaan kasus Antasari yang melibatkan
wanita bernama Rani oleh TV One
Menurut Penasehat Persatuan Wartawan
Indonesia (PWI) Pusat Tribuana Said, Selasa, saat diskusi Bedah Kasus Kode Etik
Jurnalistik di Gedung Dewan Pers, indikasi pelanggaran tersebut dapat dilihat
dari pemberitaan yang kurang berimbang karena hanya menggunakan pernyataan dari
pihak kepolisian saja.Selain itu, Tribuana menambahkan, narasumber yang dipakai
hanya narasumber sekunder saja, misalnya keluarga Rani dan tetangga Rani, bukan
dari narasumber utama.
Pasal yang dilanggar oleh divisi berita TV
One dalam menyiarkan pemberitaan Antasari – Rani adalah Pasal 3: Wartawan
Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak
mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak
bersalah. Dalam kasus di atas, wartawan TV One hanya menggunakan pernyataan
dari pihak kepolisian, tidak menggunakan data dari narasumber utama yaitu
Antasari atau Rani.
2. Kasus wawancara fiktif terjadi di
Surabaya. Seorang wartawan harian di Surabaya menurunkan berita hasil
wawancaranya dengan seorang isteri Nurdin M Top. Untuk meyakinkan kepada
publiknya, sang wartawan sampai mendeskripsikan bagaimana wawancara itu
terjadi. Karena berasal dari sumber yang katanya terpercaya, hasil wawancara
tersebut tentu saja menjadi perhatian masyarakat luas. Tetapi, belakangan
terungkap, ternyata wawancara tersebut palsu alias fiktif karena tidak pernah
dilakukan sama sekali. Isteri Nurdin M Top kala itu sedang sakit tenggorokkan
sehingga untuk berbicara saja sulit, apalagi memberikan keterangan panjang
lebar seperti laporan wawancara tersebut. Wartawan dari harian ini memang tidak
pernah bersua dengan isteri orang yang disangka teroris itu dan tidak pernah
ada wawancara sama sekali.
Wartawan dalam kasus di atas melanggar Kode
Etik Jurnalistik Pasal 2 dan Pasal 4. Pasal 2 bernunyi: Wartawan Indonesia
menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik. Pasal
4 berbunyi: Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan
cabul. Wartawan tersebut tidak menggunakan cara yang professional dalam
menjalankan tugasnya. Ia tidak menyebarkan berita yang faktual dan tidak
menggunakan narasumber yang jelas, bahkan narasumber yang digunakan dalah
narasumber fiktif. Wawancara dan berita yang dipublikasikannya merupakan
kebohongan. Tentu ini merugikan konsumen media. Pembaca mengkonsumsi media
untuk memperoleh kebenaran, bukan kebohongan. Kredibilitas harian tempat
wartawan tersebut bekerja juga sudah tentu menjadi diragukan.
3. Kasus bentrok saptol PP dengan warga
memperebutkan makam Mbah Priok belum usai. Banyak hal bisa dilihat dari kasus
ini, di antaranya soal bagaimana televisi menyiarkan kasus ini. Saat terjadi
bentrok, banyak televisi menyiarkan secara langsung. Adegan berdarah itupun
bisa disaksikan dengan telanjang mata tanpa melalui proses editing.
Penyiaran langsung gambar korban bentrokan di
Koja, Tanjung Priok, merupakan pelanggaran Kode Etik Jurnalistik Pasal 4:
Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul.
Gambar korban berdarah-darah dikategorikan
sebagai berita sadis, dan tidak semua konsumen media dapat menerimanya. Pihak
keluarga korban yang kebetulan sedang menonton televise pun bisa menerima
dampak psikologis atau traumatis jika melihat kerabatnya mengalami luka yang
mengenaskan.
4. Selain kasus bentrokan di Koja,
pemberitaan lain yang memuat gambar sadis dan melanggar Pasal 4 Kode Etik
Jurnalistik adalah pemberitaan tentang ledakan bom di Hotel Ritz-Carlton dan JW
Mariott, Kuningan, bulan Juli tahun lalu. Pada siaran langsung suasana tenpat
kejadian beberapa saat setelah bom meledak, Metro TV memuat gambar Tim Mackay,
Presiden Direktur PT Holcim Indonesia, yang berdarah-darah dan tampak tidak
beradaya, di jalanan. Penanyangan gambar tersebut tentu tidak sesuai dengan
Kode Etik Jurnalisitk dan dapat menimbulkan dampak traumatis bagi penonton yang
melihat.
5.
Membocorkan identitas narasumber : Wartawan memiliki hak tolak dalam
kasus tertentu,yakni untuk tidak mengungkapkan jati diri narasumber. Hal ini
dilakukan guna melindungi si narasumber yag mungkin saja sedang terancam
bahaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar