PemerintahanDemokrasi Terpimpin
dimulai sejak dikeluarkannya Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959. Demokrasi
Terpimpin ditafsirkan dari sila ke-4 Pancasila, yaitu Kerakyatan yang dipimpin
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Kata “dipimpin” kemudian
ditafsirkan bahwa demokrasi harus dipimpin oleh presiden.
Perkembangan politik pada masa Demokrasi Terpimpin terpusat pada Presiden Soekarno dengan TNI-AD dan PKI sebagai pendukung utamanya. Ajaran Presiden Sokarno tentang Nasakom (Nasionalis, Agama, Komunis) sangat menguntungkan PKI karena menempatkannya sebagai bagian yang sah dalam konstelasi politik Indonesia
Pada awal pelaksanaan demokrasi terpimpin, Indonesia cukup berperan aktif dalam kegiatan Internasional. Namun, politik luar negeri Indonesia kemudian lebih condong ke Uni Soviet dan China. Indonesia mengondisikan adanya dua kubu kekuatan dunia, yaitu sebagai berikut:
a. Oldefo (Old Established Forces) adalah kubu Negara-negara kapitalis-imperalis, dan
b. Nefo (New Emerging Forces) adalah kubu bangsa-bangsa tertindas yang progrsif revolusioner menentang imperialism dan neo-kolonialisme
Pada tanggal 30 September 1965 terjadi upaya perebutan kekuasaan pemerintah oleh Gerakan 30 September (G30S) Kuat dugaan itu didalangi oleh PKI dengan cara menyingkirkan lawan-lawan politiknya, yaitu para pemimpin TNI-AD
Perseteruan antara PKI dengan TNI-AD, antara lain disebabkan oleh:
a, Angkatan Darat menolak pembentukan Angkatan Kelima
b. Angkatan Darat menolak Nasakomisasi
c. Angkatan Darat menolak poros Jakarta-Peking dan konfrontasi dengan Malaysia
DPR-GR pada tanggal 9 Februari 1967 mengajukan revolusi dan memorandum kepada MPRS agar diadakan sidang istimewa. Agar terjadi peralihan kekuasaan yang tetap menjaga martabat Presiden Soekarno sebagai Proklamator RI, diadakan pendekatan secara pribadi. Pimpinan ABRI yang melakukan pendekatan itu mengusulkan kepada Presiden Soekarno sebelum Sidang Istimewa MPRS digelar bahwa presiden telah menyerahkan kekuasaaan kepada pengemban TAP IX/MPRS/1966, Jendral Soeharto
Selanjutnya diadakan pembicaraan selama beberapa hari antara Presiden Soekarno dengan Panglima ABRI di Istana Bogor. AKhirnya pada tanggal 20 Februari 1967 presiden menandatangani surat penyerahan kekusaan kepada pengemban SUPERSEMAR (Surat Perintah Sebelas Maret), Jendral Soeharto. Pada hari Kamis pukul 19.30 bertempat di Istana Negara disaksikan oleh ketua Presidium Kabinet Ampera dan para menteri, Presiden/Mandataris MPRS/Panglima Tertinggi ABRI, Ir. Soekarno dengan remi menyerahkan kekuasaan kepada Jendral Soeharto
Pada tanggal 12 Maret, Jendral Soeharto dilantik dan diambil sumpahnya sebagai presidenRI. Dengan pelantikan Soeharto sebagai Presiden tersebut, secara legal formal Pemerintahan Demokrasi Terpimpin yang kemudian dinamakan Orde Lama berakhir. Pemerintahan baru dibawah kepemimpinan Presiden Soeharto yang kemudian disebut Orde Baru pun dimulai menjalankan pemerintahannya
Perkembangan politik pada masa Demokrasi Terpimpin terpusat pada Presiden Soekarno dengan TNI-AD dan PKI sebagai pendukung utamanya. Ajaran Presiden Sokarno tentang Nasakom (Nasionalis, Agama, Komunis) sangat menguntungkan PKI karena menempatkannya sebagai bagian yang sah dalam konstelasi politik Indonesia
Pada awal pelaksanaan demokrasi terpimpin, Indonesia cukup berperan aktif dalam kegiatan Internasional. Namun, politik luar negeri Indonesia kemudian lebih condong ke Uni Soviet dan China. Indonesia mengondisikan adanya dua kubu kekuatan dunia, yaitu sebagai berikut:
a. Oldefo (Old Established Forces) adalah kubu Negara-negara kapitalis-imperalis, dan
b. Nefo (New Emerging Forces) adalah kubu bangsa-bangsa tertindas yang progrsif revolusioner menentang imperialism dan neo-kolonialisme
Pada tanggal 30 September 1965 terjadi upaya perebutan kekuasaan pemerintah oleh Gerakan 30 September (G30S) Kuat dugaan itu didalangi oleh PKI dengan cara menyingkirkan lawan-lawan politiknya, yaitu para pemimpin TNI-AD
Perseteruan antara PKI dengan TNI-AD, antara lain disebabkan oleh:
a, Angkatan Darat menolak pembentukan Angkatan Kelima
b. Angkatan Darat menolak Nasakomisasi
c. Angkatan Darat menolak poros Jakarta-Peking dan konfrontasi dengan Malaysia
DPR-GR pada tanggal 9 Februari 1967 mengajukan revolusi dan memorandum kepada MPRS agar diadakan sidang istimewa. Agar terjadi peralihan kekuasaan yang tetap menjaga martabat Presiden Soekarno sebagai Proklamator RI, diadakan pendekatan secara pribadi. Pimpinan ABRI yang melakukan pendekatan itu mengusulkan kepada Presiden Soekarno sebelum Sidang Istimewa MPRS digelar bahwa presiden telah menyerahkan kekuasaaan kepada pengemban TAP IX/MPRS/1966, Jendral Soeharto
Selanjutnya diadakan pembicaraan selama beberapa hari antara Presiden Soekarno dengan Panglima ABRI di Istana Bogor. AKhirnya pada tanggal 20 Februari 1967 presiden menandatangani surat penyerahan kekusaan kepada pengemban SUPERSEMAR (Surat Perintah Sebelas Maret), Jendral Soeharto. Pada hari Kamis pukul 19.30 bertempat di Istana Negara disaksikan oleh ketua Presidium Kabinet Ampera dan para menteri, Presiden/Mandataris MPRS/Panglima Tertinggi ABRI, Ir. Soekarno dengan remi menyerahkan kekuasaan kepada Jendral Soeharto
Pada tanggal 12 Maret, Jendral Soeharto dilantik dan diambil sumpahnya sebagai presidenRI. Dengan pelantikan Soeharto sebagai Presiden tersebut, secara legal formal Pemerintahan Demokrasi Terpimpin yang kemudian dinamakan Orde Lama berakhir. Pemerintahan baru dibawah kepemimpinan Presiden Soeharto yang kemudian disebut Orde Baru pun dimulai menjalankan pemerintahannya
PERISTIWA
G30S 1965
Peristiwa masa lalu dan terutama tentang
apa sesungguhnya masa lalu itu, maka hampir semua orang setuju untuk menyebut
sejarah. Dalam sejarah ada susunan fakta, urutan kejadian satu sesudah yang
lain. Sejarah yang diambil dalam arti sebenarnya tidak lebih dari usaha mencari
legitimasi. Dimana masa lampau bukan pendamping tetapi taklukan. Monologia
terjadi bila mana kepentingan menjadi segala-galanya, berdasarkan kepentingan
peranan yang dulu pernah dimainkan atau dilebih-lebihkannya. Dalam sejarah
sudah pasti terdapat pergeseran-pergeseran, pergeseran ini bukan saja
menunjukkan sejarah, yaitu memutarbalikkan proses dan membuatnya menjadi hanya
satu arah sedemikian rupa menjadi monologia. Namun bilamana hal ini terlalu
jauh berlangsung atau bilamana kepentingan legitimasi berada diatas segala-galanya
sehingga dialog dengan sejarah terputus, maka sekali lagi sejarah mengalami
penyempitan cakrawala. Fakta menjadi identik dengan keberhasilan dan setiap
keberhasilan menjadi legitimasi baru. Untuk mengungkap kebenaran sejarah
tidaklah mudah karena akan menyangkut berbagai kepentingan terutama terhadap
rezim yang sedang berkuasa, dan pada kenyataanya sejarah masa kini adalah
sejarah berdasarkan versi penguasa saat ini dan itu semua diluar kaidah benar
atau salah, benar saat ini belum tentu benar pada waktu mendatang.
Sejarah buruk bangsa ini selalu
menyisakan berbagai kasus hukum dan Pelanggaran Hak Asasi Manusia di tengah
jalan. Kasus itu seperti sengaja dijadikan “etalase”, yang tidak hanya menjadi
beban bagi masa depan, tetapi juga sebuah stigma bagi mereka, mantan pemimpin
bangsa yang dianggap bertanggung jawab. Kini deretan kasus yang tak
terselesaikan itu bakal semakin panjang. Tercatat saat ini kasus-kasus seperti
pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) sesaat setelah gerakan 30 September/Partai
Komunis Indonesia (PKI) tahun 1965, kasus Tanjung Priok, Talangsari, Penyerbuan
Sekretariat Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Pro Megawati Soekanoputri pada 27
Juli 1996 belum tuntas. Juga kasus penculikan aktivis dan mahasiswa,
penghilangan paksa, pelanggaran HAM kerusuhan Mei 1998, hingga kasus pembunuhan
aktivis HAM Munir. Tetapi di samping itu semua masih tersisa pula sekian banyak
misteri dan kontroversi sejarah yang di antaranya menyangkut Proklamator
Soekarno.
G30S/1965, Supersemar dan Soekarno
Peristiwa G30S/1965 mungkin hanya
secercah riak di lautan sejarah dunia dari masa ke masa. Tetapi bagi bangsa
Indonesia, peristiwa ini menjadi pembatas antara rezim lama dengan rezim baru.
Menandai perubahan besar dan drastis dalam bidang politik, ekonomi, sosial dan
budaya, dan yang perlu dicatat pula bahwa perubahan itu terjadi sekaligus. Dari
waktu ke waktu dalam perjalanan sejarah bangsa ini memang telah berlangsung
perubahan, namun setelah Indonesia merdeka, revolusi total secara serempak itu
hanya terjadi pada tahun 1965. Dengan seketika, pada bidang politik luar
negeri, Indonesia yang menjadi ujung tombak gerakan Non-Blok berubah jadi anak
manis Blok Barat. Ekonomi berdikari berubah jadi ekonomi pasar dan mengandalkan
modal asing serta pinjaman luar negeri. Masyarakat yang dulu terbagi dalam
kubu-kubu ideologis tiba-tiba menjadi anti politik dan berebut mencicipi kue
pembangunan. Kedudukan militer dalam kancah politik nasional disahkan dan
dilanggengkan. Sastra dan seni yang bersifat heroik dan merakyat berganti dengan
budaya pop yang cengeng (Asvi, 2004).
Pasca peristiwa G-30S tersebut, Presiden Soekarno
dihadapkan pada situasi dan kondisi yang teramat sulit. Sejak itu,
bayang-bayang tuntutan terhadap mundurnya Presiden Soekarno telah dimulai,
terutama dimotori oleh KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia), KAPPI
(Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia), KAPI (Kesatuan Aksi Pelajar
Indonesia), KABI (Kesatuan Aksi Buruh Indonesia), KASI (Kesatuan Aksi Sarjana
Indonesia, KAWI (Kesatuan Aksi Wanta Indonesia, KAGI (Kesatuan Aksi Guru
Indonesia). Presiden Soekarno dipaksa untuk mewujudkan tiga tuntutan tentang
pembubaran PKI, membersihkan kabinet dari unsur PKI, dan menurunkan harga.
Ketiga tuntutan ini kemudian lebih dikenal dengan TRITURA (Tiga Tuntutan
rakyat).
Atas tekanan dan desakan tersebut
Presiden mengabulkan tuntutan untuk melakukan pembersihan Kabinet Dwikora yang
kemudian dinamakan Kabinet Dwikora yang Disempurnakan dengan jumlah yang cukup
gemuk yakni beranggotakan 100 Menteri. Rupanya langkah tersebut belum dapat
menjernihkan suasana politik bangsa pada saat itu, sehingga pada tanggal 11
Maret 1966 Mayjen Basuki Rachmat, Brigjen M Yusuf, Brigjen Amir Mahmud
menghadap Menteri Panglima Angkatan Darat Letjen Soeharto untuk menyampaikan
laporan jalannya sidang kabinet, yang selanjutnya ketiga jenderal ini menghadap
Presiden Soekarno di Istana Bogor, dari Bogor ketiga Jenderal ini membawa Surat
Perintah Presiden Soekarno yang ditujukan kepada Letjen Soeharto yang kemudian
lebih dikenal dengan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar). (Arif,2007)
Supersemar inilah yang kemudian hingga
saat ini menuai polemik yang berkepanjangan. Begitu pentingnya Supersemar
sehingga dokumen “sakti” tersebut dapat menentukan sebuah arah perubahan yang
sangat fundamental dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia. Sebagian saksi
sejarah beranggapan bahwa Supersemar ibarat “batu sandungan” bagi pemerintahan
Presiden Soekarno, karena dengan Supersemar itulah yang menjadi asal muasal
runtuhnya rezim Orde Lama. Bahkan dengan lebih ekstrim lagi sebagian kalangan
menyebutnya ”Kudeta Politik”. Selanjutnya pertanyaan mendasar yang timbul
adalah apakah dengan dikeluarkannya Supersemar telah terjadi proses peralihan
kekuasaan secara konstitusional? Atau dengan kata lain apakah peralihan
kekuasaan yang terjadi telah sesuai dengan UUD 1945?
Peralihan kekuasaan memang merupakan
persoalan politik, tetapi proses peralihan tersebut harus didasarkan pada hukum
secara konstitusional. Dengan situasi dan kondisi perpolitikan pada saat itu,
dan kemudian diterbitkanlah Supersemar lebih bermakna perwakilan/mandat dari
Presiden Soekarno kepada Letjen Soeharto telah terjadi inkongruensi antara
kebutuhan untuk bertindak. Tingkat revolusi serta keadaan politik nasional
merupakan kendala yang membatasi kemampuan presiden untuk bertindak sesuai
kebutuhan untuk menciptakan ketenangan dan kestabilan pemerintahan dan jalannya
revolusi. Dengan demikian dikeluarkannya Supersemar tidak berarti telah terjadi
“peralihan kekuasaan” kepada Letjen Soeharto sebab Presiden Soekarno belum
melepaskan tanggung jawab selaku pemegang kekuasaan pemerintahan yang sah
berdasarkan UUD 1945. Oleh karena itu, peristiwa tersebut dapat
dikualifikasikan sebagai pelimpahan kuasa (mandaatsverlening) sebagian
kekuasaan pemerintahan (Arif, 2007)
Tetapi apa yang selanjutnya terjadi?
Pada Sidang Umum MPRS ke-IV tahun 1966 menghasilkan beberapa ketetapan yang
dapat dianggap prinsipil dan fundamental, yang kiranya perlu untuk dikaji dasar
konstitusionalnya. Misalnya ketatapan MPRS No. IX/MPRS/1966 tentang Supersemar,
dengan ketetapan ini Supersemar ditingkatkan dari Surat Perintah
Presiden/Pangti ABRI/Pemimpin Besar Revolusi/Mandataris MPRS menjadi ketetapan
MPRS. Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966 ini pada kenyataannya merupakan suatu
tindakan “merebut” Supersemar dari tangan Presiden Soekarno sebagai Pemberi
Supersemar, lalu menjadikan MPRS sebagai Pemberi Supersemar.
Dengan ketetapan tersebut Presiden
Soekarno seakan-akan tidak boleh lagi mengendalikan pelaksanaan Supersemar,
karena sudah menjadi ketetapan MPRS. Kedudukan Letjen Soharto sekarang sudah
menjadi pengemban Tap MPRS No. X/MPRS/1966, dan sekilas menjadi Mandataris
MPRS, karena dalam ketetapan MPRS No. X tersebut MPRS mempercayakan dan
memberikan pertanggung jawaban atas pelaksanaan ketetapan MPRS tersebut kepada
Letjen Soeharto. Namun sebagai catatan bahwa meskipun Supersemar sudah
ditingkatkan dari Surat Perintah Presiden/Pangti ABRI/Mandataris MPRS menjadi
Ketetapan MPRS akan tetapi kewajiban Letjen Soeharto, Menteri Panglima AD
(Pengemban Supersemar) untuk melaporkan kepada Presiden Soekarno (Pemberi
Supersemar) masih harus dilakukan baik selaku Menteri AD kepada Presidennya
maupun selaku Letnan Jenderal kepada panglima tertinggi.
Padahal secara yuridis presiden
Soekarno waktu itu juga telah mengambil kebijakan dengan tidak mengubah
Keputusan Presiden Nomor 1/3/Soeharto/1966 tentang pembubaran PKI yang ditandatangani
oleh Letnan Jenderal Soeharto selaku pemegang Surat Perintah 11 Maret 1966
(baca “Peralihan Kekuasaan: Kajian Teoritis Dan Yuridis Terhadap Pidato
Nawaksara”, karya Suwoto Mulyosudarmo, Gramedia, Jakarta, 1997).
Titik klimaks dari pergulatan politik yang mengarah
kudeta tersebut adalah dengan dikeluarkannya ketetapan MPRS No. XXXIII/MPRS/167
dalam Sidang Istimewa MPRS tahun 1967 yang mencabut kekuasaan pemerintahan
negara dari Presiden Soekarno dengan alasan tidak dapat memenuhi pertanggung jawaban
konstitusional sebagaimana layaknya kewajiban seorang mandataris, dan
dinyatakan tidak dapat menjalankan haluan negara dan Putusan MPRS yang kemudian
dalam Diktum pasal 4 disebutkan “Mengangkat Jenderal Soeharto, pengemban Tap
MPRS No. IX/MPRS/1966
tentang Supersemar sebagai Pejabat Presiden”.
Tap MPRS No. XXXIII/MPRS/1967 merupakan kunci dari
proses peralihan kekuasaan dari Presiden Soekarno ke Presiden Soeharto.
Ketetapan tersebut tidak dapat dipisahkan sama sekali dari Supersemar.
Supersemar adalah muara dari proses peralihan kekuasaan tersebut, karena telah
mengukuhkan Jenderal Soeharto selaku Pengemban Supersemar menjadi Pejabat
Presiden. Terlepas dari kontroversi seputar Supersemar namun sejarah bangsa
telah mencatat bahwa dokumen “sakti” bernama Supersemar telah dijadikan
landasan konstitusional sebuah peralihan dua era/fase pemerintahan yang
berbeda.
Tap XXXIII/MPRS/1967 sebagai Kejatuhan
Soekarno dan Orde Lama
TAP XXXIII/MPRS/1967 adalah sebuah ketetapan MPRS tentang
Pencabutan Kekuasaan Pemerintahan dari Presiden Soekarno. Tap XXXIII/MPRS/1967
tentang pencabutan kekuasaan pemerintahan negara dari Presiden Soekarno
dilatarbelakangi peristiwa terbunuhnya tujuh Jenderal TNI pada 30 September
1965 sehingga dari peristiwa tersebut Presiden Soekarno menjadi pesakitan serta
dinistakan pada masa kepemimpinannya, dengan adanya Tap tersebut merupakan
akhir dari kepemimpinan beliau dan berakhir pula Orde Lama. Tap
XXXIII/MPRS/1967 adalah Ketetapan MPRS yang menandai pergantian kepemimpinan
nasional, dari Bung Karno ke Pak Harto, melalui sebuah SI MPRS. Inilah
pengalaman kita pertama kali terjadi pergantian kepemimpinan nasional dan itu
pun terjadi dalam suatu SI MPR(S). (Sulastomo, Jawa Pos, 2004)
Pasal 1 Tap MPRS itu menyatakan,
Presiden Soekarno telah tidak dapat memenuhi pertanggungan jawab konstitusional
sebagaimana layaknya seorang Mandataris terhadap Majelis Permusyawaratan Rakyat
(Sementara) sebagai yang memberi mandat, yang diatur dalam UUD 1945. Pasal 3
Tap XXXIII/MPRS/1967 menyatakan, “Melarang Presiden Soekarno melakukan kegiatan
politik sampai dengan pemilihan umum” dan sejak berlakunya ketetapan ini
menarik kembali mandat Majelis Permusyawaratan Rakyat dari Presiden Soekarno
serta segala Kekuasaan Pemerintahan Negara yang diatur dalam UUD 1945. Tap ini
lalu menetapkan pemegang Tap IX/MPRS/1966, Jenderal Soeharto, sebagai pejabat
Presiden (pasal 4). Selanjutnya, pada pasal 6 dikatakan, penyelesaian persoalan
hukum selanjutnya yang menyangkut Dr Ir Soekarno, dilakukan menurut
ketentuan-ketentuan hukum dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan, dan
menyerahkan pelaksanaannya kepada pejabat Presiden.
Kemudian, dalam Sidang MPRS Juni 1966
ini ada beberapa keputusan amat penting. Pertama Tap IX/MPRS/1966 mengukuhkan
SP 11 Maret 1966. Dengan Ketetapan ini, materi SP 11 Maret 1966 dijadikan
Ketetapan MPRS, sehingga (seandainya) Bung Karno tidak mungkin lagi mencabut SP
11 Maret 1966. Letjen Soeharto memperoleh mandat untuk melaksanakan Tap
IX/MPRS/1966. Kedua, Tap XIII/MPRS/1966 tentang Pembentukan Kabinet Ampera.
Dalam ketetapan ini disebutkan, Presiden menugaskan Letnan Jenderal Soeharto
sebagai pengemban Tap IX/ MPRS/1966 untuk segera membentuk Kabinet Ampera
(pasal 2). Selanjutnya dikatakan, dalam menyusun kabinet, Letjen Soeharto wajib
berkonsultasi dengan pimpinan DPR dan MPRS (pasal 5), dan melapor kepada
presiden (pasal 6).
Ketiga, Tap XVIII/MPRS/ 1966 tentang
peninjauan kembali Tap III/MPRS/1963, tentang pengangkatan Presiden Soekarno
sebagai Presiden Seumur Hidup. Keempat, Tap XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran
PKI dan Larangan Penyebaran Ajaran Komunisme/ Marxisme/Leninisme. Dari Sidang
MPR Juni 1966 itu, meski kedudukan Presiden Soekarno sudah melemah, tetapi dia
tetap Presiden RI. Letjen Soeharto yang ditugasi menyusun Kabinet Ampera, lalu
memimpin sebuah kabinet dengan Letjen Soeharto sebagai Ketua Presidium Kabinet
dan Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Adam Malik sebagai anggota presidium
(Sulastomo, Jawa Pos, 2004).
Tap MPRS No XXXIII/1967 tersebut juga menyebutkan bahwa
“ada petundjuk-petundjuk, jang presiden Soekarno telah melakukan kebidjakan
jang setjara tidak langsung menguntungkan G30S/pki”.[3] di dalam Buku
Soerojo[4], keterangan di atas ditambah dengan “Dan melindungi tokoh2 G30S
PKI”. Padahal dalam alinea sebelumnya disebutkan bahwa G3S PKI itu
“pemberontakan kontra revolusi”. Jadi Soekarno selaku presiden yang sah ketika
itu telah mengambil kebijakan yang menguntungkan kaum pemberontak yang ingin
merebut kekuasaan darinya.
Pada Januari 1967, Presiden Soekarno
menyampaikan Pelengkap Nawaksara, disampaikan pada sidang MPRS 22 Juni 1966
kepada DPR. Setelah DPR mempelajari pelengkap Nawaksara itu, ternyata DPR masih
belum puas. Karena itu, melalui Resolusi Djamaludin Malik dkk (NU), DPR meminta
MPRS untuk melaksanakan Sidang Istimewa. Dalam sidang Istimewa Maret 1967,
keluar Tap XXXIII/ MPRS/1967 sebagaimana di kemukakan di atas. Masalah utama,
karena Bung Karno tetap dianggap tidak bersedia membubarkan PKI. Hal ini tampak
jelas dalam konsiderans TAP itu. Dalam pandangan Bung Karno, G30S/PKI
disebabkan tiga faktor yang saling terkait, yaitu keblinger-nya pimpinan PKI,
intervensi subversi Nekolim, dan memang ada hal-hal yang tidak benar. Langkah
dari Soekarno tersebut sudah tidak bisa diterima oleh kalangan DPR lagi, dengan
demikian masa Soekarno waktu itu memang sudah betul-betul berakhir.
Implikasi dari MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967
Menurut ketetapan (Tap) MPRS Nomor
XXXIII/MPRS/1967 tentang pencabutan kekuasaan pemerintahan negara dari Presiden
Soekarno, khususnya Bab II Pasal 6, ditetapkan penyelesaian persoalan hukum
selanjutnya yang menyangkut Soekarno, dilakukan menurut ketentuan-ketentuan
hukum dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan, dan menyerahkan
pelaksanaannya kepada pejabat presiden. Tap MPRS ini jelas mengandung sangkaan atau
tuduhan, yang harus dibuktikan secara hukum (praduga tak bersalah). Namun,
sebagaimana kita tahu, hingga saat ini tidak ada proses hukum yang dilakukan
terhadap Soekarno. Semasa hidupnya, Soekarno tidak pernah sekalipun dituntut ke
muka pengadilan karena tuduhan bahwa dia terlibat dalam peristiwa G30S.
Soekarno hanya diminta pertanggungjawaban di depan MPRS sebagai seorang
presiden (dengan pidato Nawaksara yang ditolak oleh MPRS), dan bukan sebagai
seorang yang dicurigai berada di balik sebuah usaha makar.
Dengan tak adanya proses hukum terhadap
Soekarno, pemerintah juga dinilai belum dapat membuktikan secara hukum
tuduhannya itu sebagaimana dituangkan dalam ketetapan MPRS. Kepastian hukum
bagi Soekarno, juga bagi pemerintah dan masyarakat, tentu tidak terpenuhi
tentang terlibat atau tidaknya Soekarno. Ia seperti sengaja “dihukum” dengan
“cara lain” dalam kenestapaan, tanpa teman dan keluarga, juga tanpa pengobatan
yang maksimal. Soekarno wafat “meninggalkan” Tap MPR yang hingga kini masih
menuduhnya, dan belum dicabut.
Banyak stigma yang melekat pada diri
Soekarno karena banyak yang mencurigai beliau sebagai seorang yang, langsung
atau tidak langsung, bertanggung jawab terhadap peristiwa G30S itu. Bahkan
banyak analis-analis dari dalam dan luar negeri yang menuliskan tentang hal
itu. Tapi apakah kita tahu bahwa Soekarno memang benar-benar bersalah atas
peristiwa itu? Tidak pernah tahu, karena, sekali lagi, Soekarno tidak pernah
dimajukan ke depan pengadilan dan kebenaran secara hukum tidak terungkap. Kita
tidak pernah memberikan kesempatan kepada Soekarno untuk membela dirinya dimuka
pengadilan.
Akhirnya Soekarno meninggal mengenaskan
di Rumah Sakit TNI Angkatan Darat setelah menderita dalam kesendirian di Wisma
Yaso dan Istana Bogor. Soekarno tak akan diproses secara hukum, Soekarno
dibiarkan sakit hingga ajalnya dengan membawa “tuduhan”, tanpa pembuktian.
Sebagai seorang yang dituduh, ia tidak diberi hak untuk membela diri dan
membuktikan dirinya tidak bersalah. Soekarno dihukum oleh “opini” dan “stigma
negatif” yang melekat pada dirinya : ”dia bersalah”. Sementara kebenaran hukum
dan pembelaan dirinya tidak pernah terungkap. Memang, mengingat hingga hari ini
tidak pernah ada proses pengadilan terhadap Soekarno. Sebagai proklamator
bangsa, ia mendapat stigma terkait G 30 S/PKI. Stigma itu hingga kini belum
pupus meski banyak kajian yang menyebutkan Soekarno tak tersangkut aksi itu.
Epilog
Karena tak ada proses peradilan sampai
ia meninggal, Soekarno tak memperoleh amnesti maupun abolisi. Keluarga Soekarno
pun menginginkan pencabutan Ketetapan MPRS No XXXIII/1967, tetapi gagal
meraihnya dalam Sidang MPR 2003 (M. Fajrul Falaakh, Kompas, 2005). Tetapi
perdebatan mengenai pencabutan Ketetapan MPRS tersebut sampai sekarang juga
masih terjadi, Ketetapan MPRS dimaksud adalah Tap MPRS IX/1966 tentang Surat
Perintah Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia/Pemimpin Besar Revolusi/Mandataris MPRS RI; Tap MPRS XXXIII/1967
tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintahan Negara dari Presiden Soekarno; dan
Tap MPRS XLIII/1968 tentang Penjelasan Ketetapan MPRS IX/1966.
Menurut sebagian pakar mengatakan bahwa seluruh Tap
MPR/MPRS memang tidak layak dipertahankan, karena, dalam UUD 1945 yang telah
diamandemen, Tap MPR/MPRS bukan lagi sebagai landasan hukum (Warman, 2003). Tap
MPRS soal Soekarno itu sendiri dibuat oleh lembaga yang bersifat sementara,
yang anggotanya tidak dipilih oleh rakyat. MPR juga seharusnya dapat menghapus
Tap MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 untuk alasan kemanusiaan, dikarenakan, Tap MPRS
tersebut berdampak besar terhadap orang yang terlibat maupun diduga terlibat
PKI, termasuk memberi stigma dan diskriminasi. Tap tersebut menurunkan
keputusan Menteri Dalam Negeri bahwa semua orang yang terlibat, atau
keluarganya, tidak boleh menduduki jabatan strategis, termasuk guru dan PNS.
Referensi
Arif Moh Husein, Kontroversi
Supersemar. Artikel Fajar Online. 10 Maret 2007
Fajrul M.Falaakh, Soeharto dan Soekarno dalam Tap MPRS,
Artikel KOMPAS: Selasa, 13 Desember 2005
Mulyosudarmo. Suwoto. Peralihan Kekuasaan: Kajian
Teoritis Dan Yuridis Terhadap Pidato Nawaksara, Gramedia, Jakarta, 1997.
Sulastomo. Tap XXXIII/MPRS/1967, artikel Berita Jawa Pos,
1 dan 2 Oktober 2004
Warman,
Asvi Adam. Perlu Dicabut, Tap MPRS yang Cemarkan Proklamator. Artikel Harian,
Kompas 2 Agustus 2003
CIRI-CIRI POKOK KEBIJAKAN PEMERINTAH ORDE BARU
1.Melaksanakan pembangunan di segala
bidang
a.Pelaksanaan pembangunan disegala bidang terbagi menjadi dua tahap,
yaitu Pembangunan Jangka Panjang Tahap Pertama(PJPT1) dan Pembangunan Jangka
Panjang tahap Kedua(PJPT II) oleh karena itu, masa Ode Baru sering juga
dikenal sebagai'masa pembangunan"
dan presiden soeharto kemudian mendapat julukan"Bapak Pembangunan)
b.Pada tahun 1998, Indonesia berhasil mencapai predikat"swasembada
pangan"dan presiden Soeharto mendapatkan penghargaan dari FAO karena
keberhasilan tahun 1988
2. Mengadakan Penataran P-4(Pedoman Penghayatan dan pengamalan Pancasila)
a.Penataran pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila(P-4) atau
Ekaprasetya Pancakarsa dilakukan bagi setiap penyelenggara Negara serta setiap
lembaga kenegaraan dan lembaga kemasyarakatan, baik di pusat maupun di daerah
dan dilaksanakan secara bulat dan utuh
3.Mencanangkan Pancasila sebagai
Asas Tunggal dan Penyederhanaan Partai Politik
a. Pencanangan Pancasila sebagai
Asas Tunggal dimulai dengan adanya penyederhanaan Partai politik di Indonesia
dari 9 parpol dan 1 golongan karya menjadi 2 parpol, yakni Partai Persatuan
pembangunan9(PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia(PDI) dan 1 Golongan Karya yang berlangsung terus
hingga rezim Orde baru berakhir.
4.Dwi Fungsi ABRI
ABRI melaksanakan fungsi sebagai kekuatan pertahanan keamanan dan sebagai
kekuatan social politik. ABRI juga memiliki wakil MPR yang dikenal dengan
FRAKSI sehingga kedudukan ABRI dalam pemerintahan Orde BARu sangat dominan.
5.Politik sentralisasi kekuatan
Semua bidang kehidupan berbangsa dan bernegara diatur secara sentral dari
pusatpemerintahan di Jakarta. Peran pemerintah pusat dalam bidang politik,
ekonomi, social budaya amat menentukan sebagian besar kekayaan daerah diangkut
ke pusat sehingga masalah pembagian kekayaan yang tidak adil ini menimbulkan
ketidakpuasaan beberapa pemerintah dan rakyat di daerah.
DAMPAK MENGUATNYA PERAN NEGARA PADA MASA ORDE BARU
Pertumbuhan ekonomi telah menimbulkan dampak positif dan negatif. Dampak
positif tercatat dalam bentuk penurunan angka kemiskinan absolut yang diikuti
dengan perbaikan indikator kesejahteraan rakyat secara rata-rata seperti
penurunan angka kematian bayi dan angka partisipasi pendidikan terutama
pendidikan tingkat dasar yang semakin meningkat.
Dampak negatif adalah
kerusakan serta pencemaran lingkungan hidup dan sumber-sumber daya alam,
perbedaan ekonomi antar golongan pekerjaan dan antar kelompok dalam masyarakat
terasa tajam.
Pembangunan yang menjadi
ikon pemerintah Orde Baru ternyata menciptakan kelompok masyarakat yang
terpinggirkan (marginalisasi sosial) di sisi lain. Di pihak lain pembangunan di
masa Orde Baru menimbulkan konglomerasi dan bisnis yang syarat dengan KKN
(Korupsi, Kolusi, Nepotisme). Pembangunan hanya mengutamakan pertumbuhan
ekonomi tanpa diimbangi kehidupan politik, ekonomi dan sosial yang demokratis
dan berkeadilan. Meskipun berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonomi, tetapi
secara fundamental pembangunan nasional sangat rapuh.
Di bidang politik,
pemerintah Orde Baru gagal memberikan pelajaran berdemokrasi yang baik dan
benar kepada rakyat Indonesia. Pada masa Orde Baru, Golkar menjadi mesin
politik guna mencapai stabilitas yang diinginkan. Sementara dua partai lainya
yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI)
hanya sebagai boneka agar tercipta citra sebagai negara Demokrasi. Peleburan
(fusi) parpol diciptakan tidak lain agar pemerintah bisa mengontrol parpol.
Dengan menguatnya peran negara pada masa Orde Baru
berdampak terhadap kehidupan masyarakat. Dampaknya sebagai berikut.
1. Dampak dalam
Bidang Politik
a. Adanya
Pemerintahan yang Otoriter
Presiden mempunyai kekuasaan yang
sangat besar dalam mengatur jalannya pemerintahan.
b. Dominasi
Golkar
Golkar merupakan mesin politik Orde
Baru yang paling diandalkan dalam menjadi satu-satunya kekuatan politik di
Indonesia yang paling dominan.
c. Pemerintahan yang Sentralistis
Menguatnya peran negara juga
menyebabkan timbulnya gaya pemerintahan yang sentralistis yang ditandai dengan
adanya pemusatan penentuan kebijakan publik pada pemerintah pusat. Pemerintah
daerah hanya diberi peluang yyang sangat kecil untuk mengatur pemerintahan dan
mengelola anggaran daerahnya sendiri.
2. Dampak dalam
Bidang Ekonomi
a. Munculnya
korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).
b. Adanya
Kesenjangan Ekonomi dan Sosial
Pertumbuhan ekonomi tidak dibarengi
dengan terbukanya akses dan distribusi yang merata sumber-sumber ekonomi kepada
masyarakat. Hal ini mengakibatkan kesenjangan sosial di masyarakat.
c. Konglomerasi
Pola dan kebijakan perekonomian yang
ditempuh pemerintah Orde Baru berdampak pada munculnya konglomerasi di seluruh
sektor usaha di Indonesia. Pemerintahan Orde Baru pada awalnya memperkirakan
bahwa konglomerasi ini akan menjadi penggerak ekonomi nasional, namun pada
kenyataannya pada konglomerat lebih mementingkan bisnisnya daripada negara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar